Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Artikel oleh Mince Oktaviani pada Rabu, 18 Juni 2025 pukul 06.58

Stigma Menyakitkan: Tekanan Sosial terhadap Orang yang Belum Menikah Di Indonesia

Tekanan sosial pada orang yang belum menikah atau tidak punya anak di Indonesia. Saatnya ubah stigma jadi empati dan dukung keberagaman pilihan hidup.

Stigma Menyakitkan: Tekanan Sosial terhadap Orang yang Belum Menikah Di Indonesia
Invisible Pressure, Visible Pain on freepik

Di balik keramahan dan budaya kekeluargaan yang kental, masyarakat Indonesia menyimpan sisi gelap yang kerap kali terabaikan yaitu stigma dan tekanan sosial terhadap individu yang belum menikah atau tidak memiliki anak. Dalam obrolan ringan di meja makan, reuni keluarga, atau grup WhatsApp alumni, sering kali pertanyaan seperti “Kapan nikah?” atau “Udah isi belum?” dilontarkan tanpa sadar bisa menyakiti hati seseorang.

Bagi sebagian orang, pertanyaan ini dianggap bentuk kepedulian. Namun bagi banyak lainnya, ini seperti luka yang terus dikorek. Masyarakat seolah menjadikan pernikahan dan memiliki anak sebagai tolak ukur kesuksesan hidup. Akibatnya, mereka yang menjalani hidup berbeda seringkali menjadi sasaran perundungan verbal dan sosial, baik secara terang-terangan maupun terselubung.

1. Budaya Kolektivisme yang Kurang Menghargai Pilihan Individu

Sebagai negara dengan budaya kolektivis, Indonesia sangat menjunjung tinggi norma sosial dan harapan masyarakat. Pilihan hidup individu sering dianggap urusan bersama. Dalam masyarakat seperti ini, orang tua, tetangga, hingga orang asing merasa berhak bertanya atau menilai pilihan hidup seseorang. Padahal, tidak semua orang ingin atau bisa mengikuti jalur hidup yang dianggap normal oleh masyarakat seperti lulus kuliah, menikah, dan punya anak.

Orang yang memilih untuk tidak menikah atau tidak memiliki anak sering dicap “tidak laku”, “tidak sempurna”, atau bahkan “tidak berguna.” Label-label ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga bisa berdampak besar pada kesehatan mental seseorang.

2. Standar Sosial yang Usang dan Tidak Relevan Lagi

Masih banyak yang percaya bahwa seseorang hanya bisa dianggap “berhasil” jika sudah menikah dan punya anak. Padahal zaman sudah berubah. Banyak orang memilih fokus pada karier, pengembangan diri, atau alasan pribadi lainnya untuk tidak menikah atau punya anak. Ada pula yang memang menghadapi kendala medis, ekonomi, atau trauma masa lalu.

Namun, alih-alih mendapat dukungan, mereka justru dihujani komentar seperti:

“Jangan terlalu pilih-pilih nanti keburu tua.”

“Nanti nyesel kalau nggak punya anak.”

“Nggak takut kesepian tua nanti?”


Tanpa disadari, komentar-komentar seperti ini mencerminkan pola pikir yang belum mampu menerima keberagaman pilihan hidup.

3. Tekanan yang Mengarah pada Perundungan Sosial

Tekanan untuk menikah dan memiliki anak tidak jarang menjelma menjadi bentuk perundungan sosial, baik halus maupun kasar. Orang-orang yang tidak mengikuti timeline sosial ini kerap dijadikan bahan bercandaan, dijauhi, bahkan direndahkan dalam lingkungan kerja atau komunitas.

Perundungan ini bisa sangat merusak, apalagi jika dilakukan secara terus-menerus. Banyak individu merasa minder, tertekan, bahkan mengalami depresi karena merasa tidak memenuhi ekspektasi masyarakat.

4. Luka Psikologis yang Tidak Terlihat

Masyarakat sering lupa bahwa setiap orang membawa beban dan cerita masing-masing. Ada yang diam-diam berjuang dengan masalah kesuburan, trauma hubungan, atau tekanan ekonomi yang tidak terlihat dari luar. Namun, ketidaktahuan ini tidak membuat komentar menjadi lebih bisa diterima.

Luka psikologis dari tekanan sosial ini tidak terlihat, tapi nyata. Rasa malu, cemas, dan tidak percaya diri bisa tumbuh karena tekanan bertubi-tubi. Akibatnya, banyak orang menutup diri, kehilangan arah, bahkan mengalami gangguan kesehatan mental jangka panjang.

5. Mengapa Penting untuk Mengubah Cara Pandang Ini

Perubahan sosial tidak terjadi dalam semalam. Namun, penting bagi masyarakat Indonesia untuk mulai menghargai keberagaman jalan hidup seseorang. Tidak semua orang harus menikah atau punya anak untuk menjadi bahagia atau berguna. Menikah dan memiliki anak seharusnya menjadi pilihan sadar dan sukarela, bukan kewajiban yang dipaksakan.

Dengan membuka ruang dialog yang sehat dan berhenti menjadikan status pernikahan atau kesuburan sebagai bahan lelucon, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif.

Kesimpulan

Tekanan sosial terhadap orang yang belum menikah atau tidak memiliki anak adalah bentuk diskriminasi yang tersembunyi namun nyata dalam masyarakat Indonesia. Kita perlu lebih sadar bahwa hidup bukan perlombaan, dan setiap orang punya jalannya sendiri. Tidak semua orang harus menikah. Tidak semua orang bisa atau ingin punya anak. Dan itu semua sah-sah saja.

Saatnya kita mengganti pertanyaan “Kapan nikah?” menjadi “Apa kabar?” dan “Kapan punya anak?” menjadi “Apa yang sedang kamu perjuangkan sekarang?”. Empati adalah kunci. Karena setiap orang sedang bertarung dalam perjalanannya masing-masing, dan hal terakhir yang mereka butuhkan adalah dukungan dari lingkungan.

Dengan saling memahami dan menghargai, kita bisa membangun masyarakat yang lebih sehat, lebih dewasa, dan lebih manusiawi.

Topik

Whatsapp Facebook Twitter Linkedin Pinterest Telegram

Kreator

Mince Oktaviani

Mince Oktaviani

Lihat Profil

Tanggapan (2)

Caysa Kusuma Praditha
Caysa Kusuma Praditha 1 minggu yang lalu

Sangat relate, Kak. Kehidupan memang dinamis, selalu berubah. Sayangnya, banyak orang masih terjebak dengan pola pikir konservatif. Semangat, Kak buat artikel lainnya tentang kesehatan mental 🥰

Azizah Islami
Azizah Islami 1 minggu yang lalu

Bagus, kak. Semoga kakak lebih mengembangkan lagi isu kesehatan mental yang lain agar orang jadi sadar akan pentingnya kesehatan mental.

Lihat Semua Tanggapan