Di era digital ini, ruang diskusi terbuka semakin luas. Media sosial, forum komunitas, hingga kolom komentar menjadi wadah bagi orang-orang untuk menyampaikan pendapat, memberikan masukan, atau melontarkan kritik. Namun, ada satu persoalan yang kian meresahkan: semakin banyak orang yang gagal membedakan antara kritik dan kebencian. Ketika seseorang menyuarakan ketidaksetujuan atau menunjukkan kekeliruan, respons yang muncul sering kali bukan diskusi sehat, melainkan defensif, marah, atau bahkan pembungkaman.
Fenomena ini membentuk budaya anti-kritik, di mana opini yang berbeda dianggap sebagai ancaman pribadi, bukan peluang untuk berkembang. Sayangnya, budaya ini bukan hanya membuat ruang diskusi jadi sempit, tapi juga menghambat kemajuan.
Pendidikan Emosional yang Tidak Terlatih
Sejak kecil, kita diajarkan untuk jadi anak baik dan "jangan bikin masalah", tapi jarang diajarkan untuk menghadapi perbedaan pendapat secara sehat. Akibatnya, ketika dikritik, banyak dari kita merasa diserang, bukan ditunjukkan arah. Kita tidak terbiasa mengelola emosi ketika mendengar hal yang tidak kita sukai.
Respons yang muncul bisa bermacam-macam: marah, menyalahkan, menjauh, atau menganggap orang yang memberi masukan sebagai musuh. Padahal, kritik bukan bentuk benci, tapi sinyal bahwa ada yang perlu diperbaiki.
Budaya Feodal dan Ego yang Rapuh
Dalam banyak lingkungan, apalagi yang masih menjunjung tinggi senioritas atau status sosial, kritik bisa dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Ini terlihat jelas di tempat kerja, komunitas, atau bahkan keluarga.
Misalnya, ketika seseorang mengkritik keputusan atasan atau orang tua, mereka dicap kurang ajar. Padahal, niatnya bisa jadi tulus untuk membangun. Karena budaya semacam ini, banyak orang lebih suka memendam pendapat daripada menyuarakan kebenaran. Takut dijauhi, dicap negatif, atau bahkan dimusuhi.
Media Sosial: Ruang Diskusi atau Ajang Tersinggung?
Alih-alih menjadi sarana untuk bertukar ide secara sehat, media sosial kerap berubah menjadi ruang ‘baper nasional’. Saat seseorang mengkritik produk, karya, atau tindakan publik, respons yang muncul bisa sangat emosional, seolah-olah itu serangan terhadap identitas atau harga diri.
Komentar “Menurut saya ini kurang tepat karena…” bisa langsung dibalas dengan, “Ngaca dulu deh sebelum ngomong!” atau “Emang kamu lebih baik?” Padahal, perbedaan pendapat bukan soal siapa lebih hebat, tapi siapa yang mau belajar.
Ketika Kritik Dipolitisasi
Di level yang lebih besar, seperti politik atau isu sosial, kritik sering kali dipelintir menjadi bentuk kebencianatau serangan kelompok tertentu. Kritik terhadap kebijakan bisa dituduh tidak nasionalis. Kritik terhadap figur publik bisa dituduh sebagai buzzer pihak lawan.
Semakin sering ini terjadi, semakin sulit bagi masyarakat untuk membedakan antara kritik tulus dan ujaran kebencian. Akhirnya, banyak orang memilih diam, takut dikriminalisasi atau diserang balik.
Kenapa Kita Perlu Belajar Menerima Kritik?
1. Kritik adalah Cermin
Kritik bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk memperlihatkan apa yang tidak bisa kita lihat sendiri. Sama seperti cermin, kadang pantulan itu tidak menyenangkan, tapi penting untuk perbaikan diri.
2. Tanpa Kritik, Tak Ada Perubahan
Tidak ada inovasi lahir dari zona nyaman. Kritik, terutama yang membangun, adalah bahan bakar kemajuan. Sebuah tim, komunitas, bahkan negara bisa tumbuh jika warganya bisa berdiskusi, bukan saling bungkam.
3. Membedakan Kritik dengan Cacian
Kita juga perlu belajar membedakan mana kritik yang membangun dan mana yang memang niatnya menjatuhkan. Kritik datang dengan argumen, niat baik, dan solusi. Sementara cacian datang dengan hinaan dan emosi.
Mari Belajar Mendengar Tanpa Tersinggung
Budaya anti-kritik bukan hanya membuat kita stagnan, tapi juga merusak kualitas diskusi di masyarakat. Jika setiap masukan dianggap serangan, bagaimana kita bisa tumbuh? Jika setiap koreksi dibalas dengan amarah, kapan kita belajar?
Mari mulai dari hal kecil: membuka hati untuk mendengar, menahan diri dari reaksi spontan, dan bertanya, “Apakah ini benar?” sebelum tersinggung. Karena sejatinya, kritik yang baik bukan musuh kita. Melainkan teman yang jujur, walau kadang menyakitkan.
Bukan berarti semua kritik harus diterima mentah-mentah. Tapi jika kita bisa memilah mana yang bermanfaat, kita akan jadi pribadi yang bukan cuma kuat secara mental, tapi juga matang dalam berpikir.
Karena pada akhirnya, kritik bukan benci. Yang benci adalah mereka yang membiarkan kita tenggelam dalam kesalahan tanpa pernah memperingatkan.
Tanggapan