PANGKALPINANG, 22 Juni 2025 – Pemprov Bangka Belitung (Babel) menolak keras, berargumen pulau (juga dikenal sebagai gugusan Pulau Pekajang) tersebut secara yuridis menjadi bagian dari Babel menurut UU No. 27 Tahun 2000. Pemprov Babel berpegangan pada Undang‑Undang Nomor 27 Tahun 2000 yang mencantumkan Pulau Pekajang/Pulau Tujuh dalam lampiran wilayah provinsi.
Gubernur Hidayat Arsani menyatakan: “Kita tidak mau ribut seperti Aceh. Kita selesaikan secara hukum judicial review ke Mahkamah Konstitusi” dilansir Metronews pada Rabu (18/06/2025).
Bahkan, saat pemekaran dari Sumatera Selatan pada 2000, Pulau Pekajang secara eksplisit sudah menjadi bagian dari wilayah Babel.
Untuk merespons penetapan wilayah yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang, Pemerintah Provinsi Bangka Belitung membentuk tim khusus guna menyusun langkah hukum strategis, termasuk pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan permintaan revisi resmi kepada Kementerian Dalam Negeri. Langkah ini diambil bukan sebagai bentuk konfrontasi, melainkan upaya konstitusional untuk mempertahankan kejelasan batas wilayah sesuai amanat hukum.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten Lingga bersikeras bahwa Pulau Tujuh, yang mereka kenal sebagai Pulau Cybia atau Pekajang, secara administratif telah lama dikelola oleh Kepri. Klaim tersebut diperkuat dengan keberadaan infrastruktur pemerintahan lokal dan data historis peninggalan kolonial Belanda yang mendukung posisi Kepri. Melalui Asisten I Pemprov Kepri, Arief Fadillah mengemukakan bahwa "Secara hukum, posisi Pulau Pekajang sudah final berada di wilayah Kepri," dilansir Belitongekspres pada Sabtu (21/06/2025).
Gugusan Pulau Tujuh sendiri terdiri dari 7–15 pulau kecil, hanya Pulau Pekajang yang berpenduduk yang berlokasi di perairan Laut Natuna, dengan hanya satu pulau yang berpenghuni secara tetap. Letaknya yang berada di antara Pulau Bangka dan Lingga yang dimana sekitar 5 jam dari Bangka dan 9 jam dari Lingga—menunjukkan letak geografis yang netral tapi rawan interpretasi administratif—membuat batas administratifnya rawan tumpang tindih interpretasi.
Menyadari potensi konflik yang lebih luas, kedua provinsi menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan perbedaan melalui jalur hukum dan dialog terukur. Pemerintah pusat diharapkan mampu menjadi penengah yang adil agar sengketa ini tidak menimbulkan gejolak sosial di akar rumput, serta menjadi pelajaran penting dalam penataan ulang batas wilayah di masa mendatang.
Tanggapan (1)
Masyaa Allah, semangat terus kakak 😊