JAKARTA, 23 Juni 2025 — Ketegangan geopolitik di Timur Tengah memasuki babak baru. Setelah serangan udara Amerika Serikat terhadap fasilitas militer Iran, Teheran mengancam akan menutup Selat Hormuz — jalur utama pengiriman minyak global. Jika hal itu terjadi, dampaknya tak hanya dirasakan negara-negara besar, tetapi juga Indonesia yang sangat tergantung pada impor minyak mentah.
Selat Hormuz adalah jalur strategis di mana sekitar 20% minyak mentah dunia dikirimkan. Ketika stabilitas jalur ini terganggu, harga minyak internasional bisa melonjak tajam. Saat ini, harga minyak Brent sudah naik mendekati US$90 per barel, dan diperkirakan bisa menembus US$100 jika eskalasi terus berlanjut.
Dampaknya langsung terasa di dalam negeri. Kementerian Keuangan memperkirakan beban subsidi energi Indonesia dapat membengkak dari Rp339 triliun menjadi Rp500 triliun, jika harga minyak tetap tinggi dalam jangka waktu lama. Kondisi ini menjadi perhatian serius pemerintah, terutama karena dana tersebut bersumber dari APBN yang seharusnya juga digunakan untuk sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan.
"Subsidi itu (berpotensi) akan semakin besar lagi. Sekarang ini saja sudah diperkirakan hampir Rp400 triliun lebih, sekitar 13% dari APBN kita. Kalau naiknya lebih jauh lagi, itu bisa membengkak sampai seperti tahun 2022 itu. Saat itu subsidi BBM mencapai di atas Rp500 triliun. Besar sekali, pada saat itu 18% dari APBN," papar Yose Rizal Damuri Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia dilansir mediaindonesia.com.
Pemerintah sendiri sedang menyiapkan sejumlah skenario mitigasi, mulai dari pembatasan volume subsidi, evaluasi harga BBM bersubsidi, hingga penguatan cadangan energi nasional. Langkah ini dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus menekan tekanan fiskal.
Di tengah kekhawatiran ini, publik mulai berspekulasi akan adanya kenaikan harga BBM jenis Pertalite dan Solar. Antrean panjang di SPBU sempat terjadi di beberapa wilayah luar Jawa, meski Pertamina menegaskan pasokan masih aman.
Kondisi pasar energi global yang tidak menentu membuat posisi Indonesia cukup rentan. Dengan defisit neraca migas yang masih tinggi, lonjakan harga minyak mentah sangat mungkin menggerus ruang fiskal negara.
“Jika krisis minyak benar terjadi, maka subsidi bukan lagi soal angka — melainkan soal pilihan: BBM tetap murah, atau APBN tetap sehat?”
Tanggapan