Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Cerita oleh Henny Kristina pada Jumat, 13 Juni 2025 pukul 16.29

Jejak Awal Bertemu Suku Anak Dalam Di Jambi Pada Tahun 1983

Kisah nyata mengharukan tentang perjumpaan pertama dengan Suku Anak Dalam di hutan Jambi—budaya, perjuangan, dan ketangguhan menghadapi alam.

Perpisahan Dengan Teman SD

Mungkin sudah takdir dari Allah kalau aku harus mengikuti orang tuaku untuk pindah ke daerah transmigrasi di daerah Bangko, Jambi. Awalnya aku tidak mau ikut, membayangkan sudah terbiasa hidup di kota yang sejuk dekat daerah pegunungan di Boyolali. Apalagi aku baru lulus SD dan diterima di SMPN 1 Boyolali.

Tinggal satu hari lagi akan diadakan acara perpisahan. Acara ini mengundang wali murid untuk datang menyaksikan pentas seni di sekolah. Akan tetapi, aku masih harap-harap cemas karena ibu, adik bungsu, dan bapaku sudah berangkat terlebih dahulu ke daerah transmigrasi satu bulan yang lalu. Sedangkan aku dan kakak-kakaku tinggal di asrama tentara yang berlokasi di belakang Kantor Pengadilan. Asramanya lebih besar dan hanya dihuni oleh keluargaku. Bangunan masih bergaya Belanda, setelah pindah dari tangsi di Jalan Melati (yang pernah saya ceritakan di kisah sebelumnya).

Pikiranku kacau dan sedih karena ibu dan bapaku tidak ada kabar kapan mau menjemputku. Karena zaman dulu surat-menyurat lama sekali kalau dikirim lewat pos. Tiba-tiba aku dikejutkan suara neneku memanggil namaku, karena ibuku datang dari Bangko, Jambi. Sekitar jam 4 sore sambil menggendong adikku yang bungsu berusia 2 tahun (kalau menulis kisah ada adikku bungsu ini, air mataku langsung menetes karena baru bulan Oktober 2024 meninggal karena sakit, menyusul bapak dan ibuku).

Aku sedih bercampur senang karena Allah menjawab doaku, ibuku bisa datang ke sekolahku. Akan tetapi, bapaku belum bisa datang menurut kata ibuku. Nanti beliau pulang sekalian menjemputku. Saat diumumkan siapa saja yang menduduki peringkat, ternyata namaku disebut. Walaupun cuma peringkat 3, aku sudah bersyukur karena sainganku pintar-pintar di kelas.

Perpisahan Dengan Teman SMP

Setelah acara perpisahan di SD, aku mulai masuk sekolah SMPN 1 Boyolali yang seleksinya sangat ketat karena sekolah favorit. Tetap masih menggunakan tes tertulis. Sedih waktu pendaftaran, aku mendaftar sendiri karena kedua orang tuaku masih berada di Bangko, Jambi. Keadaan yang memaksaku untuk menjadi pribadi yang mandiri, selain didikan militer bapaku. Beliau mendidiku sangat disiplin. Anak-anaknya tidak boleh cengeng dan harus mandiri.

Baru merasakan tiga bulan sekolah di SMPN 1 Boyolali yang bergengsi, aku harus pindah ke daerah transmigrasi. Kebanyakan orang berasumsi kalau orang transmigrasi adalah orang susah. Tapi pola pikir bapaku berbeda karena bapaku ingin masa depan anak-anaknya terjamin dan bisa sukses. Punya 6 anak, mengharapkan gaji dari TNI tidak cukup, sedangkan bapaku sudah mendekati masa pensiun. Itulah tujuan orang tuaku ingin punya ladang yang luas di masa tuanya kelak. Kebetulan bapaku ditunjuk sebagai kepala rombongan transmigrasi dari Kodam Diponegoro.

Aku masih belajar di SMP sambil menunggu bapaku menjemputku. Ketika aku sedang belajar, tiba-tiba wali kelas memanggilku karena bapaku datang ke sekolah mau mengurus surat pindahku. Sedih, kecewa, kesal, apa boleh buat. Kami berempat kakak beradik harus ikut bapaku pindah. Membayangkan di tempat baru nanti pastinya panas, teman-teman yang belum kukenal, sarana yang jauh dari di kota. 

Perjalanan Panjang Yang Melelahkan

Ibuku sibuk mengurusi barang-barang yang mau dibawa. Bayangkan pindah ke daerah transmigrasi membawa 4 orang anak sangatlah merepotkan. Sedangkan kakakku masih ada 2 orang lagi yang ditinggal karena masih harus menyelesaikan SMA-nya. Kakakku yang paling tua kelas 3 SMA dan mbakku kelas 1 SPG masih tinggal di asrama berdua. Beruntung walaupun cuma berdua, masih boleh tinggal di asrama sama komandannya bapaku. Komandan bapaku sangat mendukung bapaku pergi transmigrasi ke Bangko, Jambi.

Ibuku menyuruhku minum Antimo karena perjalanan jauh. Waktu itu jalan lintas Sumatra belum sebagus sekarang. Masih berlubang dan sebagian tanah. Perjalanan menempuh waktu 3 hari 2 malam. Bus tanpa AC pastinya panas. Sepanjang jalan wajahku cemberut. Waktu melewati Lahat yang paling parah jalannya berkelok-kelok dan membuatku mabuk. Di daerah Lahat ini terkenal dengan "Bajing Loncat", penjahat jalanan yang suka menjarah barang-barang penumpang.

Sampai Di Margoyoso Bangko Jambi

Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya aku sampai di pangkalan bus ALS di Margoyoso. Aku kira sudah sampai di lokasi, eh ternyata masih menempuh perjalanan sekitar 2 jam lagi untuk masuk ke area transmigrasi. Capek sudah pasti, wajah kucel dan ngantuk. Tiba di Margoyoso sekitar jam 6 sore.

Ketika aku turun dari bus dan harus oper lagi naik mobil pick up terbuka yang hanya tertutup di bagian atapnya, sungguh suatu pengalaman pertama bagiku.

Pertama Kali Bertemu Suku Anak Dalam Di Margoyoso

Kaget, takut, itulah kesan pertama ketika aku melihat Suku Kubu ini. Mereka masih primitif. Yang perempuan hanya memakai kemben dan sarung untuk menutup auratnya, sedangkan yang laki-laki hanya memakai secuil kain untuk menutupi auratnya. Awalnya aku hanya membaca buku pelajaran waktu di SD dan SMP tentang suku-suku yang ada di Indonesia, itupun suku yang terkenal misal Dayak, Bugis, Toraja yang dominan dikenal masyarakat. Ternyata masih ada suku yang lainnya yaitu Suku Kubu yang secara langsung aku lihat dari jarak dekat.

Mereka mendekati kami karena ingin minta uang. Bapaku penasaran kenapa mereka berkumpul di pangkalan bus. Konon menurut cerita dari agen, ada seorang Suku Kubu keserempet Bus Lintas Sumatra, makanya mereka unjuk rasa mendatangi agen bus. Mereka datang berkelompok dan bagiku sangat mengerikan karena mereka membawa tombak, parang, dan panah.

Menjalani Hidup Di Daerah Transmigrasi

Menempuh perjalanan sekitar 2 jam, akhirnya aku sampai di rumah sederhana pembagian dari pemerintah. Rumah beratap seng, dinding papan, lantai tanah. Ibu dan bapaku menenangku karena aku menangis dan marah. Aku kecewa, maklum waktu itu aku masih belum dewasa cara berpikirku. Bayangkan hidup tanpa listrik, setiap malam penerangan hanya lampu tempel dan petromax.

Tidak ada pasar, belum ada sekolah yang dibuka, duh benar-benar masih terisolir. Aku tidak bisa langsung sekolah karena di daerah transmigrasi ini belum ada sekolah karena belum ada guru yang mengajar. 

Karena Ditolak Sekolah Di Kecamatan Rantau Panjang, Bapaku Mendirikan Sekolah

Oleh pemerintah kabupaten, bapaku ditunjuk jadi kepala desa untuk memimpin warga sekitar 600 kepala keluarga. Di daerah kami gedung sekolah sudah ada, bahkan ada aulanya, ruangan kelas dan lapangan basket juga ada. Untuk SMP belum dibuka karena kendala kurangnya pengajar yang mau mengajar di daerah transmigrasi.

Singkat cerita, setelah seminggu istirahat, bapaku pergi ke Rantau Panjang untuk mendaftarkan aku dan mbakku masuk SMP. Rantau Panjang adalah kecamatan yang dibilang cukup ramai pada saat itu. Entah apa alasannya, Kepala Sekolah tidak menerimaku untuk sekolah di sana.

Mendengar kabar itu aku menangis, sedih dan hampir depresi setelah bapaku pulang dari Rantau Panjang menceritakan ditolaknya aku dan mbakku sekolah di SMP itu. Ayahku marah dan kecewa. Kurang lebih satu bulan aku menganggur tidak sekolah. Kalaupun sekolah di Rantau Panjang, kami harus kos karena jauh dan transportasi mahal. Aku salut dengan kegigihan bapaku sebagai Kepala Desa. Beliau tidak ingin anak-anaknya putus sekolah, apalagi warganya banyak yang masih usia dini sudah menikah.

Mendapat Bantuan Dari Pemerintah Untuk Mendirikan SMP

Tidak mau ketinggalan pelajaran, akhirnya bapaku mengajukan permohonan untuk mendirikan sekolah. Pemerintah merespons dan sungguh aku dan teman-temanku sangat senang. Bantuan datang dari Diknas pusat satu mobil puso berupa gamelan lengkap, buku-buku pelajaran dan peralatan olahraga pun ada. Untuk tenaga pengajar sambil menunggu guru yang didatangkan dari Jambi, pengajarnya direkrut sukarela dari teman-teman bapaku tentara dan anak-anak atau saudara mereka yang berpendidikan dari Jawa.

Diajak Bapaku Ke Perkampungan Suku Anak Dalam Di Daerah Bukit 12, Karena Ada Kunjungan Gubernur

Lambat laun aku bisa menerima kenyataan, menjadi anak serdadu siap ditempatkan di manapun dalam kondisi suka dan duka. Sudah mulai belajar walaupun terbatas sarananya. Sudah bertemu teman yang setiap hari berangkat dan pulang bersama. Jalan kaki ke sekolah sekitar 1 kilometer dari rumahku. Jika hujan jalan becek dan buka sepatu karena menempel di sepatu tanahnya, karena daerah sana tanah merah kalau hujan licin. Terkadang kalau musim panas sangat menyengat sekali, karena hutan dibuka otomatis iklimnya jadi panas. Pulang sekolah kami melewati sungai. Tidak tahan melihat air rawa bersih, kamipun masuk rawa dan berenang bersama teman-teman masih memakai seragam SMP. Sungguh kenangan yang tak terlupakan.

Tadi sebelum pulang, guruku menyampaikan kalau akan ada kunjungan Bapak Gubernur ke Bukit 12 Perkampungan Suku Kubu. Siapa yang mau ikut sudah disediakan truk bak terbuka untuk membawa kami. Harap maklum, sudah sangat beruntung masih ada orang yang mau meminjamkan truknya untuk ke daerah terpencil dan pastinya jalannya menuju ke sana tidak mudah untuk dilalui.

Walaupun bapaku Kepala Desa, kalau aku ikut naik truk bukan duduk di depan. Karena yang duduk di depan bapaku dan temannya. Aku dan teman-temanku di belakang duduk beralaskan terpal. Bagiku itu tidak masalah yang penting aku ingin tahu seperti apa perkampungan Suku Kubu. Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan sekitar 2 jam dan medan yang cukup sulit dilewati, akhirnya kami sampai.

Bukit 12 Perkampungan Suku Anak Dalam

Bukit 12 ini terletak di perbatasan Sarolangun dan Tebo. Aku masih ingat pemandangannya sangat indah, memang benar banyak bukit-bukit terhampar di sana. Kawasan Cagar Alam ini dilindungi. Waktu itu ada Badan Dunia pemerhati lingkungan hidup dan ekosistem juga ikut meliput untuk penelitian. Sayang sekali zaman dulu belum ada ponsel, kalaupun ada kamera untuk beli rol filmnya tidak ada yang jual di daerahku.

Tak jenuh mata memandang hamparan bukit yang masih asri dan ada beberapa rumah panggung tempat bermukimnya Suku Anak Dalam yang dibuat pemerintah terlihat tidak terawat. Karena Suku Anak Dalam terbiasa hidup berpindah-pindah. Menurut sesepuh warga yang sudah tahu adat istiadat Suku Anak Dalam, ada larangan yang wajib dipatuhi. Misalkan bertemu mereka tidak boleh meludah. Menurut kepercayaan mereka, kita akan mengikuti Suku Anak Dalam ke mana dia pergi.

Hatiku terenyuh dan kasihan melihat mereka sangat terbelakang. Mereka menganggap kita pendatang sebagai penjajah. Awalnya aku takut dan kaget kalau berpapasan dengan Suku Anak Dalam, akan tetapi lambat laun sudah terbiasa. Bapaku memberi tahu apa saja yang tidak boleh dilanggar ketika bertemu mereka.

Pak Gubernur Datang Dengan Helikopter Ke Bukit 12

Bapaku sudah duduk di bangku undangan yang sangat sederhana, maklum di sana apa adanya. Untuk mengumpulkan Suku Anak Dalam saja sangat susah. Ketika helikopter sudah mendarat dan pak Gubernur turun, warga Suku Anak Dalam diminta untuk mendekat. Akan tetapi mereka malah minta rokok dulu baru mau diajak berkumpul dengan pak Gubernur, Bupati dan aparat desa lainnya.

Harap maklum, mereka tidak mendengar apa yang disampaikan oleh pak Gubernur. Miris, mereka malah mendekati helikopter dan memegangnya. Mungkin mereka merasa aneh, kok benda bisa terbang. Waktu di zaman itu pesawat belum ada yang lewat kawasan kami. Bukan mustahil mereka takjub dan rasa ingin tahunya tidak jauh dari kita yang mempunyai kehidupan wajar.

Tanya jawab seputar cara menangani Suku Anak Dalam, memberikan bimbingan usaha sudah diterapkan, akan tetapi tidak semudah membalikkan tangan. Mereka punya cara sendiri untuk bertahan hidup dengan cara berburu binatang apa saja yang bisa dimakan, mencari ikan dan berburu babi hutan.

Apabila ada kerabat mereka yang sakit akan ditinggalkan begitu saja. Mereka akan pindah mencari tempat lain. Mereka hidup berpindah-pindah dan mempunyai kelompok sendiri. Bahkan menurut sumber dan aku pernah bertanya, dalam kelompok itu bisa bebas menikah, bahasa kasarnya kawin.

Allah itu adil, di balik keterbelakangan mereka, akan tetapi diberi kemudahan. Mereka melahirkan sendiri, setelah melahirkan meramu obat-obatan sendiri di masa nifas. Sungguh keajaiban yang luar biasa, tanpa medis yang membantu. Setelah acara selesai kami pun pulang, kebetulan di daerah sekitar Bukit 12 sedang musim durian. Bapaku memborong durian untuk dibagi-bagikan dan buat keluargaku. Kalau musim durian harganya sangat murah.

Kepala Suku Anak Dalam Datang Ke Rumahku

Aku dan teman-temanku sering membicarakan Suku Anak Dalam.
"Hen, kamu pernah lihat Datuknya Suku Anak Dalam belum?"
Kujawab belum. Pertanyaan temanku membuat aku penasaran, apa beda Datuk dan Kepala Suku Anak Dalam. Kata temanku jalannya mundur, telapak kakinya beda dengan manusia biasa.

"Hah..." Aku tidak percaya sama cerita temanku. Nah yang aku pernah ketemu di Margoyoso sewaktu pertama kali itu katanya Kepala Suku. Mungkin untuk wilayah berbeda. Yang terpikir dalam benakku sosok kepala Suku itu identik tinggi besar, berkarisma bak cerita di film Suku Indian.

Selain menjadi kepala desa, bapaku mempunyai usaha sampingan, mencari kayu di hutan bekas tebangan untuk dijual. Karena sering keluar masuk hutan, bapaku sering bertemu Suku Anak Dalam. Pada suatu malam hari sekitar pukul 7 ada seorang pria tinggi besar, membawa tongkat dan memakai kalung panjang bertelanjang dada dan hanya memakai koteka mencari bapaku.

Awalnya aku agak takut, tapi penasaran kenapa mencari bapaku. Apa bapaku punya melanggar aturan atau adat istiadat mereka? Eh ternyata menawarkan ada kayu yang bisa digesek di hutan berjenis kayu jelutung. Jenis kayu ini per kubiknya mahal. Akan tetapi aku jadi ingat obrolan dengan temanku.

Posturnya tinggi, dada lebar, walaupun sudah sepuh akan tetapi masih tersisa tubuh kokoh seorang pemimpin, membawa tongkat, dan memakai kalung berupa tali dan liontin berupa taring kecil. Beliau memanggil bapaku Pasirah yang artinya pemimpin.

Ada hal yang patut kita contoh dari beliau tentang jiwa kepemimpinannya. Mereka berani maju untuk anak buahnya atau warganya apabila ada yang tertindas, walaupun mereka kebal hukum. Intinya jangan menyakiti duluan kalau tidak mau dibalas sama mereka. Tidak tanggung-tanggung, satu yang tertindas mereka akan melawan kita kelompok mereka tidak peduli walau itu sangat berbahaya.

Mulai Ada Perubahan

Seiring waktu berjalan dari hari demi hari dan ke tahun berikutnya, desa kami mulai maju. Bahkan dulunya hutan lebat kini mulai ada perusahaan yang bekerja sama mengontrak ladang kami untuk ditanami kebun sawit.

Apakah berdampak dengan komunitas Suku Anak Dalam?
Tidak bisa dipungkiri, sangat berdampak sejak mereka mengira kita penjajah mau menguasai hutan di mana tempat mereka untuk bertahan hidup. Akan tetapi ada dampak baiknya juga. Dulu mereka makan hanya dari hasil berburu dan menangkap ikan. Saya kurang tahu bagaimana mereka mengolahnya.

Setelah mereka beradaptasi dengan warga, jadi mengenal beras, peralatan masak dan bumbu. Saya pernah lihat mereka memasak nasi pakai panci dan wajan sekitar tahun 1990-an. Bahkan lambat laun sudah mulai memakai baju layaknya warga biasa. Akan tetapi ada juga belum mau memakai baju, masih bertahan dengan penutup aurat ala mereka. Kita tidak bisa memaksa, akan tetapi kita berusaha membujuk.

Suku Anak Dalam Tahun 2000-an

Seiring perkembangan zaman dari waktu ke waktu mulai ada perubahan. Bahkan LSM atau pemerintah menerapkan wajib bisa baca buat Suku Anak Dalam. Walaupun persentasenya masih rendah dan populasi mereka semakin bertambah. Kemajuan teknologi membuat mereka juga ingin merasakan. Ketika saya pulang kampung kaget sekitar tahun 2006, mereka sudah banyak yang memakai baju kekinian, memakai make up, terkadang lucu juga. Sewaktu saya ke pasar bertemu remaja Suku Anak Dalam, saya godain, "Beli gincu dan rambut di bonding, hahaha." Mereka tidak marah bahkan malah tertawa.

Saya lihat mereka banyak uangnya karena habis menjual babi. Aku suruh beli emas di pasar kebetulan ada yang jual.

Persiapan Lebaran Membungkus Kue Untuk Suku Anak Dalam

Bukan hanya kita warga saja yang kalau Lebaran datang berkunjung untuk silaturahmi. Sebagian dari mereka ada yang keliling dari rumah ke rumah minta kue atau makanan. Ada satu permintaan dari mereka, kalau Suku Anak Dalam mayoritas tidak suka telur. Maka dari itu kami memberi makanan yang tidak memakai bahan dasar dari telur. Saya tidak tahu pasti apa mereka tahu arti Lebaran.

Semakin maju zaman, sudah banyak Suku Anak Dalam yang sudah modern. Ada yang sekolah, bahkan ada yang sudah jadi TNI, ada juga yang jadi pengusaha perkebunan sawit dan punya tambak lele.

Masa kita kalah sama mereka? Desa kami semakin maju. Bapaku mendirikan Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Pertama swasta sampai dijadikan negeri, bahkan sekarang sudah banyak sekolah dari SD sampai SMK karena untuk mencakup 10 unit warga transmigrasi. Sekarang warga di daerahku anak-anaknya melangkah sampai ke perguruan tinggi karena perekonomian sudah baik dengan adanya perkebunan kelapa sawit.

Hikmah Tinggal Di Hutan Dan Bertemu Suku Anak Dalam

Aku yang awalnya kecewa karena teman-temanku SMA sering mengejeku, mereka bilang "Anak Transmigrasi", tapi kami bisa membuktikan bahwa kami bisa bersaing dengan mereka untuk bidang akademik. Setelah lulus SMP waktu itu tahun 1986, di daerahku belum ada SMA. Bapaku baru mulai merintis SMA swasta. Aku masuk SMAN 1 Bangko seleksi nilai NEM, akhirnya aku lulus dan diterima. Karena jaraknya jauh, aku terpaksa harus kos.

Aku salut sama kerja keras bapaku dan jiwa sosialnya sangat tinggi sampai pemerintah memberi penghargaan kepada bapaku mendapat penghargaan "Kepala Desa Teladan" mewakili provinsi Jambi. Atas jasa bapaku, pemerintah memanggil bapaku ke Jakarta untuk bertemu presiden.

Alhamdulillah, walaupun kami tinggal di daerah terpencil tidak membuat kami patah semangat. Buah dari kerja keras bapaku bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Bahkan adikku putra pertama dari daerah transmigrasi yang lolos AKABRI. Bapaku meninggal tahun 2011. Perjuangan untuk membangun desa dilanjutkan kakakku perempuan nomor 2 mendarmabaktikan sebagai Guru dan kakakku no 3 perempuan aktif membangun dan memajukan koperasi yang pernah memenangkan lomba mendapatkan juara 2 se-Indonesia sebagai Koperasi percontohan.

Perpisahan Dengan Teman SD

Mungkin sudah takdir dari Allah kalau aku harus mengikuti orang tuaku untuk pindah ke daerah transmigrasi di daerah Bangko, Jambi. Awalnya aku tidak mau ikut, membayangkan sudah terbiasa hidup di kota yang sejuk dekat daerah pegunungan di Boyolali. Apalagi aku baru lulus SD dan diterima di SMPN 1 Boyolali.

Tinggal satu hari lagi akan diadakan acara perpisahan. Acara ini mengundang wali murid untuk datang menyaksikan pentas seni di sekolah. Akan tetapi, aku masih harap-harap cemas karena ibu, adik bungsu, dan bapaku sudah berangkat terlebih dahulu ke daerah transmigrasi satu bulan yang lalu. Sedangkan aku dan kakak-kakaku tinggal di asrama tentara yang berlokasi di belakang Kantor Pengadilan. Asramanya lebih besar dan hanya dihuni oleh keluargaku. Bangunan masih bergaya Belanda, setelah pindah dari tangsi di Jalan Melati (yang pernah saya ceritakan di kisah sebelumnya).

Pikiranku kacau dan sedih karena ibu dan bapaku tidak ada kabar kapan mau menjemputku. Karena zaman dulu surat-menyurat lama sekali kalau dikirim lewat pos. Tiba-tiba aku dikejutkan suara neneku memanggil namaku, karena ibuku datang dari Bangko, Jambi. Sekitar jam 4 sore sambil menggendong adikku yang bungsu berusia 2 tahun (kalau menulis kisah ada adikku bungsu ini, air mataku langsung menetes karena baru bulan Oktober 2024 meninggal karena sakit, menyusul bapak dan ibuku).

Aku sedih bercampur senang karena Allah menjawab doaku, ibuku bisa datang ke sekolahku. Akan tetapi, bapaku belum bisa datang menurut kata ibuku. Nanti beliau pulang sekalian menjemputku. Saat diumumkan siapa saja yang menduduki peringkat, ternyata namaku disebut. Walaupun cuma peringkat 3, aku sudah bersyukur karena sainganku pintar-pintar di kelas.

Perpisahan Dengan Teman SMP

Setelah acara perpisahan di SD, aku mulai masuk sekolah SMPN 1 Boyolali yang seleksinya sangat ketat karena sekolah favorit. Tetap masih menggunakan tes tertulis. Sedih waktu pendaftaran, aku mendaftar sendiri karena kedua orang tuaku masih berada di Bangko, Jambi. Keadaan yang memaksaku untuk menjadi pribadi yang mandiri, selain didikan militer bapaku. Beliau mendidiku sangat disiplin. Anak-anaknya tidak boleh cengeng dan harus mandiri.

Baru merasakan tiga bulan sekolah di SMPN 1 Boyolali yang bergengsi, aku harus pindah ke daerah transmigrasi. Kebanyakan orang berasumsi kalau orang transmigrasi adalah orang susah. Tapi pola pikir bapaku berbeda karena bapaku ingin masa depan anak-anaknya terjamin dan bisa sukses. Punya 6 anak, mengharapkan gaji dari TNI tidak cukup, sedangkan bapaku sudah mendekati masa pensiun. Itulah tujuan orang tuaku ingin punya ladang yang luas di masa tuanya kelak. Kebetulan bapaku ditunjuk sebagai kepala rombongan transmigrasi dari Kodam Diponegoro.

Aku masih belajar di SMP sambil menunggu bapaku menjemputku. Ketika aku sedang belajar, tiba-tiba wali kelas memanggilku karena bapaku datang ke sekolah mau mengurus surat pindahku. Sedih, kecewa, kesal, apa boleh buat. Kami berempat kakak beradik harus ikut bapaku pindah. Membayangkan di tempat baru nanti pastinya panas, teman-teman yang belum kukenal, sarana yang jauh dari di kota. 

Perjalanan Panjang Yang Melelahkan

Ibuku sibuk mengurusi barang-barang yang mau dibawa. Bayangkan pindah ke daerah transmigrasi membawa 4 orang anak sangatlah merepotkan. Sedangkan kakakku masih ada 2 orang lagi yang ditinggal karena masih harus menyelesaikan SMA-nya. Kakakku yang paling tua kelas 3 SMA dan mbakku kelas 1 SPG masih tinggal di asrama berdua. Beruntung walaupun cuma berdua, masih boleh tinggal di asrama sama komandannya bapaku. Komandan bapaku sangat mendukung bapaku pergi transmigrasi ke Bangko, Jambi.

Ibuku menyuruhku minum Antimo karena perjalanan jauh. Waktu itu jalan lintas Sumatra belum sebagus sekarang. Masih berlubang dan sebagian tanah. Perjalanan menempuh waktu 3 hari 2 malam. Bus tanpa AC pastinya panas. Sepanjang jalan wajahku cemberut. Waktu melewati Lahat yang paling parah jalannya berkelok-kelok dan membuatku mabuk. Di daerah Lahat ini terkenal dengan "Bajing Loncat", penjahat jalanan yang suka menjarah barang-barang penumpang.

Sampai Di Margoyoso Bangko Jambi

Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya aku sampai di pangkalan bus ALS di Margoyoso. Aku kira sudah sampai di lokasi, eh ternyata masih menempuh perjalanan sekitar 2 jam lagi untuk masuk ke area transmigrasi. Capek sudah pasti, wajah kucel dan ngantuk. Tiba di Margoyoso sekitar jam 6 sore.

Ketika aku turun dari bus dan harus oper lagi naik mobil pick up terbuka yang hanya tertutup di bagian atapnya, sungguh suatu pengalaman pertama bagiku.

Pertama Kali Bertemu Suku Anak Dalam Di Margoyoso

Kaget, takut, itulah kesan pertama ketika aku melihat Suku Kubu ini. Mereka masih primitif. Yang perempuan hanya memakai kemben dan sarung untuk menutup auratnya, sedangkan yang laki-laki hanya memakai secuil kain untuk menutupi auratnya. Awalnya aku hanya membaca buku pelajaran waktu di SD dan SMP tentang suku-suku yang ada di Indonesia, itupun suku yang terkenal misal Dayak, Bugis, Toraja yang dominan dikenal masyarakat. Ternyata masih ada suku yang lainnya yaitu Suku Kubu yang secara langsung aku lihat dari jarak dekat.

Mereka mendekati kami karena ingin minta uang. Bapaku penasaran kenapa mereka berkumpul di pangkalan bus. Konon menurut cerita dari agen, ada seorang Suku Kubu keserempet Bus Lintas Sumatra, makanya mereka unjuk rasa mendatangi agen bus. Mereka datang berkelompok dan bagiku sangat mengerikan karena mereka membawa tombak, parang, dan panah.

Menjalani Hidup Di Daerah Transmigrasi

Menempuh perjalanan sekitar 2 jam, akhirnya aku sampai di rumah sederhana pembagian dari pemerintah. Rumah beratap seng, dinding papan, lantai tanah. Ibu dan bapaku menenangku karena aku menangis dan marah. Aku kecewa, maklum waktu itu aku masih belum dewasa cara berpikirku. Bayangkan hidup tanpa listrik, setiap malam penerangan hanya lampu tempel dan petromax.

Tidak ada pasar, belum ada sekolah yang dibuka, duh benar-benar masih terisolir. Aku tidak bisa langsung sekolah karena di daerah transmigrasi ini belum ada sekolah karena belum ada guru yang mengajar. 

Karena Ditolak Sekolah Di Kecamatan Rantau Panjang, Bapaku Mendirikan Sekolah

Oleh pemerintah kabupaten, bapaku ditunjuk jadi kepala desa untuk memimpin warga sekitar 600 kepala keluarga. Di daerah kami gedung sekolah sudah ada, bahkan ada aulanya, ruangan kelas dan lapangan basket juga ada. Untuk SMP belum dibuka karena kendala kurangnya pengajar yang mau mengajar di daerah transmigrasi.

Singkat cerita, setelah seminggu istirahat, bapaku pergi ke Rantau Panjang untuk mendaftarkan aku dan mbakku masuk SMP. Rantau Panjang adalah kecamatan yang dibilang cukup ramai pada saat itu. Entah apa alasannya, Kepala Sekolah tidak menerimaku untuk sekolah di sana.

Mendengar kabar itu aku menangis, sedih dan hampir depresi setelah bapaku pulang dari Rantau Panjang menceritakan ditolaknya aku dan mbakku sekolah di SMP itu. Ayahku marah dan kecewa. Kurang lebih satu bulan aku menganggur tidak sekolah. Kalaupun sekolah di Rantau Panjang, kami harus kos karena jauh dan transportasi mahal. Aku salut dengan kegigihan bapaku sebagai Kepala Desa. Beliau tidak ingin anak-anaknya putus sekolah, apalagi warganya banyak yang masih usia dini sudah menikah.

Mendapat Bantuan Dari Pemerintah Untuk Mendirikan SMP

Tidak mau ketinggalan pelajaran, akhirnya bapaku mengajukan permohonan untuk mendirikan sekolah. Pemerintah merespons dan sungguh aku dan teman-temanku sangat senang. Bantuan datang dari Diknas pusat satu mobil puso berupa gamelan lengkap, buku-buku pelajaran dan peralatan olahraga pun ada. Untuk tenaga pengajar sambil menunggu guru yang didatangkan dari Jambi, pengajarnya direkrut sukarela dari teman-teman bapaku tentara dan anak-anak atau saudara mereka yang berpendidikan dari Jawa.

Diajak Bapaku Ke Perkampungan Suku Anak Dalam Di Daerah Bukit 12, Karena Ada Kunjungan Gubernur

Lambat laun aku bisa menerima kenyataan, menjadi anak serdadu siap ditempatkan di manapun dalam kondisi suka dan duka. Sudah mulai belajar walaupun terbatas sarananya. Sudah bertemu teman yang setiap hari berangkat dan pulang bersama. Jalan kaki ke sekolah sekitar 1 kilometer dari rumahku. Jika hujan jalan becek dan buka sepatu karena menempel di sepatu tanahnya, karena daerah sana tanah merah kalau hujan licin. Terkadang kalau musim panas sangat menyengat sekali, karena hutan dibuka otomatis iklimnya jadi panas. Pulang sekolah kami melewati sungai. Tidak tahan melihat air rawa bersih, kamipun masuk rawa dan berenang bersama teman-teman masih memakai seragam SMP. Sungguh kenangan yang tak terlupakan.

Tadi sebelum pulang, guruku menyampaikan kalau akan ada kunjungan Bapak Gubernur ke Bukit 12 Perkampungan Suku Kubu. Siapa yang mau ikut sudah disediakan truk bak terbuka untuk membawa kami. Harap maklum, sudah sangat beruntung masih ada orang yang mau meminjamkan truknya untuk ke daerah terpencil dan pastinya jalannya menuju ke sana tidak mudah untuk dilalui.

Walaupun bapaku Kepala Desa, kalau aku ikut naik truk bukan duduk di depan. Karena yang duduk di depan bapaku dan temannya. Aku dan teman-temanku di belakang duduk beralaskan terpal. Bagiku itu tidak masalah yang penting aku ingin tahu seperti apa perkampungan Suku Kubu. Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan sekitar 2 jam dan medan yang cukup sulit dilewati, akhirnya kami sampai.

Bukit 12 Perkampungan Suku Anak Dalam

Bukit 12 ini terletak di perbatasan Sarolangun dan Tebo. Aku masih ingat pemandangannya sangat indah, memang benar banyak bukit-bukit terhampar di sana. Kawasan Cagar Alam ini dilindungi. Waktu itu ada Badan Dunia pemerhati lingkungan hidup dan ekosistem juga ikut meliput untuk penelitian. Sayang sekali zaman dulu belum ada ponsel, kalaupun ada kamera untuk beli rol filmnya tidak ada yang jual di daerahku.

Tak jenuh mata memandang hamparan bukit yang masih asri dan ada beberapa rumah panggung tempat bermukimnya Suku Anak Dalam yang dibuat pemerintah terlihat tidak terawat. Karena Suku Anak Dalam terbiasa hidup berpindah-pindah. Menurut sesepuh warga yang sudah tahu adat istiadat Suku Anak Dalam, ada larangan yang wajib dipatuhi. Misalkan bertemu mereka tidak boleh meludah. Menurut kepercayaan mereka, kita akan mengikuti Suku Anak Dalam ke mana dia pergi.

Hatiku terenyuh dan kasihan melihat mereka sangat terbelakang. Mereka menganggap kita pendatang sebagai penjajah. Awalnya aku takut dan kaget kalau berpapasan dengan Suku Anak Dalam, akan tetapi lambat laun sudah terbiasa. Bapaku memberi tahu apa saja yang tidak boleh dilanggar ketika bertemu mereka.

Pak Gubernur Datang Dengan Helikopter Ke Bukit 12

Bapaku sudah duduk di bangku undangan yang sangat sederhana, maklum di sana apa adanya. Untuk mengumpulkan Suku Anak Dalam saja sangat susah. Ketika helikopter sudah mendarat dan pak Gubernur turun, warga Suku Anak Dalam diminta untuk mendekat. Akan tetapi mereka malah minta rokok dulu baru mau diajak berkumpul dengan pak Gubernur, Bupati dan aparat desa lainnya.

Harap maklum, mereka tidak mendengar apa yang disampaikan oleh pak Gubernur. Miris, mereka malah mendekati helikopter dan memegangnya. Mungkin mereka merasa aneh, kok benda bisa terbang. Waktu di zaman itu pesawat belum ada yang lewat kawasan kami. Bukan mustahil mereka takjub dan rasa ingin tahunya tidak jauh dari kita yang mempunyai kehidupan wajar.

Tanya jawab seputar cara menangani Suku Anak Dalam, memberikan bimbingan usaha sudah diterapkan, akan tetapi tidak semudah membalikkan tangan. Mereka punya cara sendiri untuk bertahan hidup dengan cara berburu binatang apa saja yang bisa dimakan, mencari ikan dan berburu babi hutan.

Apabila ada kerabat mereka yang sakit akan ditinggalkan begitu saja. Mereka akan pindah mencari tempat lain. Mereka hidup berpindah-pindah dan mempunyai kelompok sendiri. Bahkan menurut sumber dan aku pernah bertanya, dalam kelompok itu bisa bebas menikah, bahasa kasarnya kawin.

Allah itu adil, di balik keterbelakangan mereka, akan tetapi diberi kemudahan. Mereka melahirkan sendiri, setelah melahirkan meramu obat-obatan sendiri di masa nifas. Sungguh keajaiban yang luar biasa, tanpa medis yang membantu. Setelah acara selesai kami pun pulang, kebetulan di daerah sekitar Bukit 12 sedang musim durian. Bapaku memborong durian untuk dibagi-bagikan dan buat keluargaku. Kalau musim durian harganya sangat murah.

Kepala Suku Anak Dalam Datang Ke Rumahku

Aku dan teman-temanku sering membicarakan Suku Anak Dalam.
"Hen, kamu pernah lihat Datuknya Suku Anak Dalam belum?"
Kujawab belum. Pertanyaan temanku membuat aku penasaran, apa beda Datuk dan Kepala Suku Anak Dalam. Kata temanku jalannya mundur, telapak kakinya beda dengan manusia biasa.

"Hah..." Aku tidak percaya sama cerita temanku. Nah yang aku pernah ketemu di Margoyoso sewaktu pertama kali itu katanya Kepala Suku. Mungkin untuk wilayah berbeda. Yang terpikir dalam benakku sosok kepala Suku itu identik tinggi besar, berkarisma bak cerita di film Suku Indian.

Selain menjadi kepala desa, bapaku mempunyai usaha sampingan, mencari kayu di hutan bekas tebangan untuk dijual. Karena sering keluar masuk hutan, bapaku sering bertemu Suku Anak Dalam. Pada suatu malam hari sekitar pukul 7 ada seorang pria tinggi besar, membawa tongkat dan memakai kalung panjang bertelanjang dada dan hanya memakai koteka mencari bapaku.

Awalnya aku agak takut, tapi penasaran kenapa mencari bapaku. Apa bapaku punya melanggar aturan atau adat istiadat mereka? Eh ternyata menawarkan ada kayu yang bisa digesek di hutan berjenis kayu jelutung. Jenis kayu ini per kubiknya mahal. Akan tetapi aku jadi ingat obrolan dengan temanku.

Posturnya tinggi, dada lebar, walaupun sudah sepuh akan tetapi masih tersisa tubuh kokoh seorang pemimpin, membawa tongkat, dan memakai kalung berupa tali dan liontin berupa taring kecil. Beliau memanggil bapaku Pasirah yang artinya pemimpin.

Ada hal yang patut kita contoh dari beliau tentang jiwa kepemimpinannya. Mereka berani maju untuk anak buahnya atau warganya apabila ada yang tertindas, walaupun mereka kebal hukum. Intinya jangan menyakiti duluan kalau tidak mau dibalas sama mereka. Tidak tanggung-tanggung, satu yang tertindas mereka akan melawan kita kelompok mereka tidak peduli walau itu sangat berbahaya.

Mulai Ada Perubahan

Seiring waktu berjalan dari hari demi hari dan ke tahun berikutnya, desa kami mulai maju. Bahkan dulunya hutan lebat kini mulai ada perusahaan yang bekerja sama mengontrak ladang kami untuk ditanami kebun sawit.

Apakah berdampak dengan komunitas Suku Anak Dalam?
Tidak bisa dipungkiri, sangat berdampak sejak mereka mengira kita penjajah mau menguasai hutan di mana tempat mereka untuk bertahan hidup. Akan tetapi ada dampak baiknya juga. Dulu mereka makan hanya dari hasil berburu dan menangkap ikan. Saya kurang tahu bagaimana mereka mengolahnya.

Setelah mereka beradaptasi dengan warga, jadi mengenal beras, peralatan masak dan bumbu. Saya pernah lihat mereka memasak nasi pakai panci dan wajan sekitar tahun 1990-an. Bahkan lambat laun sudah mulai memakai baju layaknya warga biasa. Akan tetapi ada juga belum mau memakai baju, masih bertahan dengan penutup aurat ala mereka. Kita tidak bisa memaksa, akan tetapi kita berusaha membujuk.

Suku Anak Dalam Tahun 2000-an

Seiring perkembangan zaman dari waktu ke waktu mulai ada perubahan. Bahkan LSM atau pemerintah menerapkan wajib bisa baca buat Suku Anak Dalam. Walaupun persentasenya masih rendah dan populasi mereka semakin bertambah. Kemajuan teknologi membuat mereka juga ingin merasakan. Ketika saya pulang kampung kaget sekitar tahun 2006, mereka sudah banyak yang memakai baju kekinian, memakai make up, terkadang lucu juga. Sewaktu saya ke pasar bertemu remaja Suku Anak Dalam, saya godain, "Beli gincu dan rambut di bonding, hahaha." Mereka tidak marah bahkan malah tertawa.

Saya lihat mereka banyak uangnya karena habis menjual babi. Aku suruh beli emas di pasar kebetulan ada yang jual.

Persiapan Lebaran Membungkus Kue Untuk Suku Anak Dalam

Bukan hanya kita warga saja yang kalau Lebaran datang berkunjung untuk silaturahmi. Sebagian dari mereka ada yang keliling dari rumah ke rumah minta kue atau makanan. Ada satu permintaan dari mereka, kalau Suku Anak Dalam mayoritas tidak suka telur. Maka dari itu kami memberi makanan yang tidak memakai bahan dasar dari telur. Saya tidak tahu pasti apa mereka tahu arti Lebaran.

Semakin maju zaman, sudah banyak Suku Anak Dalam yang sudah modern. Ada yang sekolah, bahkan ada yang sudah jadi TNI, ada juga yang jadi pengusaha perkebunan sawit dan punya tambak lele.

Masa kita kalah sama mereka? Desa kami semakin maju. Bapaku mendirikan Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Pertama swasta sampai dijadikan negeri, bahkan sekarang sudah banyak sekolah dari SD sampai SMK karena untuk mencakup 10 unit warga transmigrasi. Sekarang warga di daerahku anak-anaknya melangkah sampai ke perguruan tinggi karena perekonomian sudah baik dengan adanya perkebunan kelapa sawit.

Hikmah Tinggal Di Hutan Dan Bertemu Suku Anak Dalam

Aku yang awalnya kecewa karena teman-temanku SMA sering mengejeku, mereka bilang "Anak Transmigrasi", tapi kami bisa membuktikan bahwa kami bisa bersaing dengan mereka untuk bidang akademik. Setelah lulus SMP waktu itu tahun 1986, di daerahku belum ada SMA. Bapaku baru mulai merintis SMA swasta. Aku masuk SMAN 1 Bangko seleksi nilai NEM, akhirnya aku lulus dan diterima. Karena jaraknya jauh, aku terpaksa harus kos.

Aku salut sama kerja keras bapaku dan jiwa sosialnya sangat tinggi sampai pemerintah memberi penghargaan kepada bapaku mendapat penghargaan "Kepala Desa Teladan" mewakili provinsi Jambi. Atas jasa bapaku, pemerintah memanggil bapaku ke Jakarta untuk bertemu presiden.

Alhamdulillah, walaupun kami tinggal di daerah terpencil tidak membuat kami patah semangat. Buah dari kerja keras bapaku bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Bahkan adikku putra pertama dari daerah transmigrasi yang lolos AKABRI. Bapaku meninggal tahun 2011. Perjuangan untuk membangun desa dilanjutkan kakakku perempuan nomor 2 mendarmabaktikan sebagai Guru dan kakakku no 3 perempuan aktif membangun dan memajukan koperasi yang pernah memenangkan lomba mendapatkan juara 2 se-Indonesia sebagai Koperasi percontohan.

Kesimpulan

Masuk untuk membuka bagian ini.
Akses lengkap ke konten ini hanya tersedia untuk pengguna terdaftar.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur. Excepteur sint occaecat cupidatat non proident, sunt in culpa qui officia deserunt mollit anim id est laborum.

Penutup

Terimakasih Suku Anak Dalam telah memotivasi diriku yang hampir putus asa karena tinggal di hutan dan daerah terpencil. Kalian tetap bersyukur akan takdir Allah menjadi Suku Anak Dalam dan tugas kami akan terus melestarikan dan menjaga supaya populasi Suku Anak Dalam tidak punah. Buat pembaca yang membaca ceritaku ini, mari kita doakan semoga saudara kita Suku Anak Dalam bisa beradaptasi dengan jaman tanpa memaksakan. Mohon maaf kalau ada salah kata atau dari tutur bahasa yang kurang sopan.

Wasalam penulis.

Topik

Henny Kristina

Henny Kristina

Penulis novel

Lihat Profil

Tanggapan