Di setiap budaya di dunia, mitos dan takhayul telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Beberapa tradisi mengandung kebijaksanaan dan nilai budaya, sementara yang lain bisa menyesatkan kita dari kebenaran dan akal sehat. Kisah ini mengungkap apa yang terjadi ketika kepercayaan tanpa dasar berakar dalam pikiran kita, dan harga yang harus dibayar saat kita meninggalkan pemikiran kritis.
Dr. Sarah Chen selalu membanggakan dirinya sebagai wanita yang berpegang pada ilmu pengetahuan. Sebagai profesor psikologi di universitas, ia telah bertahun-tahun mempelajari perilaku manusia, membongkar mitos, dan mengajarkan siswanya berpikir kritis. Namun ketika neneknya meninggal dan mewariskannya sebuah cermin antik yang indah, segalanya mulai berubah.
Cermin itu sangat cantik—bingkai peraknya diukir rumit dengan simbol-simbol yang tak dikenali Sarah. Bersama cermin terlampir sebuah surat tulisan tangan dari neneknya: "Cermin ini memperlihatkan kebenaran jiwa seseorang, tapi hanya pada pukul tengah malam. Tataplah saat itu, dan kau akan melihat masa depanmu."
Awalnya Sarah menganggapnya sekadar dongeng belaka. Ia menggantung cermin itu di ruang kerjanya, lebih karena nilai estetikanya daripada mempercayai kekuatan yang diklaim. Namun seiring waktu, rasa penasaran mulai menggerogoti dirinya. Neneknya adalah orang bijak, kan? Bagaimana kalau memang ada sesuatu di balik itu?
Pertama kali menatap cermin saat tengah malam, Sarah tak melihat hal aneh—hanya bayangan kelelahan dirinya sendiri. Tapi ia melihat sesuatu yang ganjil: ia tampak lebih kusut dari biasanya. Mungkin karena pencahayaan, pikirnya.
Di malam kedua, ia merasa melihat bayangan bergerak di balik pantulan. Di malam ketiga, dia yakin melihat sosok putih berdiri di sudut pantulan cermin. Pada malam keempat, Sarah benar-benar yakin cermin itu memperlihatkan visi masa depan—atau mungkin masa lalu.
Ia mulai mengatur seluruh hidupnya berdasarkan pertemuan tengah malam itu. Membatalkan rencana malam, melewatkan acara sosial penting, bahkan menunda mengoreksi tugas agar selalu berada di rumah tepat tengah malam. "Visi" itu semakin rumit: ia melihat kesuksesan besar, kemudian kegagalan mengerikan, lalu sosok misterius memberi peringatan bahaya.
Saat seorang kolega mengajaknya mempresentasikan riset di konferensi internasional bergengsi, Sarah nyaris menolak. Cermin itu menunjukkan—atau setidaknya ia percaya—bahwa bepergian akan membawa malapetaka. Hanya intervensi kepala departemen yang peduli membuatnya pergi.
Di konferensi, Sarah bertemu Dr. James Winters, pakar psikologi kognitif dan psikologi takhayul ternama. Dalam percakapan santai, Sarah mengakui keyakinannya pada kekuatan cermin itu.
Dr. Winters mendengarkan dengan sabar, lalu bertanya sederhana: "Sarah, apakah kau sudah mempertimbangkan bahwa yang kau alami mungkin pareidolia—kecenderungan otak kita melihat pola bermakna dalam rangsangan acak, terutama saat lelah atau stres?"
Ia menjelaskan bagaimana otak manusia, terutama saat lelah tengah malam, rentan menciptakan ilusi dan melihat pola yang sebenarnya tidak ada. "Harapan kita membentuk apa yang kita lihat," ujarnya lembut. "Jika kau percaya akan melihat visi dalam cermin, pikiranmu akan menciptakannya."
Sarah merasakan dingin pengenalan. Ia pernah mengajarkan konsep ini kepada siswanya sendiri. Bagaimana mungkin ia melupakan pelajaran tentang bias konfirmasi, pengenalan pola, dan kekuatan sugesti?
Malam itu, alih-alih buru-buru pulang hotel dan menatap cermin tengah malam, Sarah memilih tinggal di resepsi konferensi. Ia berinteraksi dengan kolega, berbagi risetnya yang sahih, dan mengingat kembali alasan ia menjadi ilmuwan.
Kembali ke rumah, Sarah melakukan percobaan. Ia menutup cermin selama seminggu, lalu menatapnya tengah malam tanpa ekspektasi melihat visi. Hasilnya tepat sebagaimana mestinya: bayangan dirinya sendiri, tak lebih tak kurang.
Bayangan dan sosok itu hanyalah produk pikiran lelahnya, sugesti, dan pencahayaan redup di ruang kerja. "Ramalan" yang ia kira lihat terlalu samar sehingga ia memberi makna pada kejadian acak, contoh klasik validasi subjektif.
Sarah sadar betapa dekat ia dengan kehancuran karier dan pemikiran rasionalnya karena kepercayaan tak berdasar. Nyaris menolak kesempatan karier, merusak hubungan, dan mengorbankan kesehatan mental—semua demi sesuatu yang hanyalah imajinasi semata.
Penutup
Cermin itu kini tergantung di kantor Sarah di universitas, bukan sebagai artefak mistis, melainkan alat pengajaran sekaligus pengingat pribadi. Di atasnya terpampang plakat kecil bertuliskan: "Berpikir kritis bukanlah musuh keajaiban—melainkan pelindung terbesar keajaiban."
Sarah menggunakan pengalamannya untuk mengajarkan mahasiswa tentang pentingnya pemikiran ilmiah, bahaya bias konfirmasi, dan bagaimana bahkan orang terdidik bisa terperangkap kepercayaan tanpa dasar saat meninggalkan akal untuk angan-angan.
Dia belajar bahwa mitos paling berbahaya bukan yang kita tolak secara terbuka, tetapi yang kita diam-diam harapkan benar adanya. Dalam keinginan akan makna, kendali, atau intipan ke hal yang tak diketahui, kita bisa kehilangan pijakan yang nyata.
Keajaiban sejati, yang Sarah temukan, bukan dalam visi supranatural, melainkan dalam kemampuan manusia untuk belajar, berkembang, dan keberanian mengakui kesalahan.