Di zaman sekarang, banyak orang merasa cukup dengan ibadah, ilmu, dan amalnya untuk layak masuk surga. Bahkan ada yang berkata, "InsyaAllah saya sudah aman." Padahal, para sahabat Nabi yang sudah dijamin surga pun tetap menangis, takut, dan merasa tidak layak.
Apa yang membuat mereka begitu rendah hati? Mengapa rasa tidak layak itu menjadi keutamaan mulia?
Tawadhu’ Bukan Tanda Lemah, Melainkan Bukti Cinta dan Takut kepada Allah
Tawadhu’ berarti rendah hati. Dalam Islam, ini lebih dari sekadar sopan santun; ia merupakan kesadaran bahwa setiap amal baik tak berarti tanpa rahmat Allah. Sekuat apa pun amal dan sebanyak apa pun ibadah, tidak ada yang bisa masuk surga semata-mata dari usahanya sendiri.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Tidak seorang pun dari kalian akan masuk surga karena amalnya.”
Para sahabat bertanya, “Bahkan engkau pun, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Bahkan aku, kecuali Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Jika Rasulullah ﷺ saja membutuhkan rahmat Allah untuk masuk surga, bagaimana dengan kita?
Para Sahabat yang Dijamin Surga Namun Tetap Menangis
Banyak sahabat Nabi yang telah dijamin masuk surga, namun tidak ada satu pun yang merasa aman begitu saja.
1. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
Meskipun dijamin surga, Umar pernah berkata, “Seandainya aku berada di antara surga dan neraka, dan aku tidak tahu akan masuk yang mana, aku lebih memilih menjadi debu daripada harus menjawab di hadapan Allah.”
Ini bukan pesimisme, tetapi cerminan ketakutannya pada hisab (perhitungan amal).
2. Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu
Beliau adalah manusia paling mulia setelah para nabi, namun berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku seperti pohon yang ditebang dan tidak pernah dihisab.”
Air matanya mengalir karena takut amalnya tak diterima.
3. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu
Ketika berdiri di atas kuburan, beliau menangis hingga janggutnya basah, berkata, “Kubur adalah persinggahan pertama dari akhirat. Jika selamat di sana, maka langkah selanjutnya mudah. Jika gagal, maka semuanya akan lebih berat.”
Mengapa Rasa Tak Layak Itu Penting?
1. Menjaga dari Ujub (Rasa Bangga Diri)
Ujub adalah penyakit hati yang membuat seseorang terpesona dengan amalnya sendiri, merasa lebih baik dari orang lain, bahkan merasa sudah pantas masuk surga. Ini berbahaya karena bisa menjadi awal kejatuhan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tiga perkara yang membinasakan: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan orang yang takjub pada dirinya sendiri.”
(HR. Thabrani)
2. Menjaga Amal dari Kehilangan Pahala
Allah hanya menerima amal dari orang yang ikhlas dan rendah hati. Rasa tidak layak membuat kita terus menjaga amal dengan rasa khauf (takut) dan raja’ (harap). Keduanya menyeimbangkan perjalanan rohani seorang hamba.
3. Mendekatkan Diri pada Rahmat Allah
Orang yang merasa tak layak tidak menggantungkan nasib hanya pada amal. Ia justru bersungguh-sungguh memohon rahmat Allah, karena rahmat itulah tiket utama menuju surga.
Kritik Halus untuk Era Pujian Diri
Kini, kita hidup di era media sosial, di mana ibadah bisa dipamerkan, sedekah dapat diperlihatkan ke publik, dan status saleh dibangun lewat citra. Banyak yang sibuk menunjukkan amalnya, mungkin dengan niat memotivasi, namun hati menyimpan rasa bangga.
Merasa lebih suci bisa menjadi istidraj, yaitu keadaan di mana Allah membiarkan seseorang beramal tapi hatinya penuh kesombongan. Ia merasa pemilik surga dan mudah menghakimi orang lain yang berbeda jalan.
Padahal, surga bukan untuk yang merasa paling pantas, melainkan untuk orang yang paling takut tidak layak.
Kesimpulan
Rasa Tak Layak adalah Nikmat Iman
Merasa tak layak masuk surga bukan tanda kurang iman, melainkan ciri iman yang tulus. Orang yang benar-benar mengenal Allah tahu bahwa rahmat-Nya lebih luas daripada amalnya, dan murka-Nya lebih berat daripada dosa-dosanya.
Jika hari ini kamu menangis karena takut amalmu tidak cukup, itu bukan kelemahan. Itu tanda hatimu masih hidup. Mungkin dari air mata itulah Allah akan membuka pintu surga-Nya untukmu.
Respon