Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Artikel oleh Mince Oktaviani pada Sabtu, 28 Juni 2025 pukul 13.56

Bercanda Kok Menyakiti? Saat Kata ‘Baperan’ Jadi Tameng Candaan Toksik

Candaan menyakitkan sering dibungkus dengan kata “baperan”. Padahal, itu bentuk kekerasan verbal yang perlu dihentikan, bukan dibenarkan.

Bercanda Kok Menyakiti? Saat Kata ‘Baperan’ Jadi Tameng Candaan Toksik
A girl who shuts herself off because she's labeled as too sensitive on istockphoto

“Ah, baperan banget sih!”
Kalimat ini kerap terlontar setelah seseorang merasa tersinggung karena candaan yang menjurus ke arah penghinaan. Ironisnya, dalam banyak kasus, justru yang menyakiti merasa menjadi pihak yang benar. Ia merasa bebas melontarkan apa saja atas nama humor, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi mental dan perasaan orang lain. Padahal, candaan yang menyakitkan hati bukanlah bentuk keakraban, melainkan racun sosial yang dibungkus tawa.

Dalam masyarakat kita, kata “baperan” sudah menjadi tameng bagi perilaku tidak etis. Sebuah perisai yang dipakai untuk membungkam kritik, sekaligus membenarkan body shaming, sindiran kasar, bahkan pelecehan verbal yang dibungkus dalam bentuk guyonan. Artikel ini akan membedah mengapa budaya ini berbahaya, dan bagaimana seharusnya kita bersikap agar tidak lagi menormalisasi kekerasan verbal dengan dalih cuma bercanda.

Guyonan yang Tak Lagi Lucu

Humor semestinya menghadirkan tawa, bukan luka. Namun dalam praktiknya, banyak guyonan yang justru mengandung kekerasan psikis. Contoh yang umum: mengejek bentuk tubuh, warna kulit, kekurangan fisik, atau latar belakang ekonomi seseorang. Hal-hal ini menjadi bahan tertawaan yang dianggap sah karena sudah menjadi kebiasaan.

Ketika korban merasa sakit hati, pelaku justru menganggap itu sebagai lelucon yang gagal dipahami. Mereka akan bilang, “Kok gitu aja baper?” atau “Lah, guyon kok dimasukin hati.” Ini bukan sekadar pembelaan, melainkan bentuk penyangkalan terhadap kesalahan yang mereka perbuat.

Budaya Bercanda yang Toksik

Dalam budaya kita, ada glorifikasi terhadap “canda kasar” sebagai bentuk kedekatan. Semakin parah ejekannya, dianggap semakin akrab. Padahal, keakraban seharusnya memberi rasa aman, bukan tekanan. Ketika bercanda menjadi ajang pamer kuasa verbal, maka itu bukan lagi humor, tapi bentuk perundungan halus.

Apalagi jika guyonan tersebut terjadi di ruang publik, baik offline maupun media sosial. Korban bukan hanya merasa dipermalukan, tapi juga tidak punya ruang untuk membela diri tanpa dicap nggak asik atau nggak bisa diajak santai.

Kata “Baperan” Sebagai Senjata

Label “baperan” seringkali digunakan untuk melemahkan reaksi emosional seseorang. Ia dipakai untuk membenarkan sikap yang menyakitkan, seolah korbanlah yang bermasalah karena terlalu sensitif. Padahal, tiap orang punya latar belakang, pengalaman, dan sensitivitas yang berbeda. Sesuatu yang lucu bagi satu orang bisa menjadi trauma bagi yang lain.

Dengan melabeli seseorang “baperan,” pelaku membalikkan posisi. Yang semula menyakiti, kini merasa sebagai korban karena candaannya disalahartikan. Ini manipulatif, dan menormalisasi bentuk-bentuk kekerasan verbal lainnya.

Dampak Psikologis yang Diabaikan

Tidak semua orang mampu menertawakan diri sendiri, terutama jika yang dijadikan bahan candaan adalah hal-hal sensitif yang menyangkut harga diri. Candaan yang menyakitkan bisa memicu perasaan rendah diri, depresi, bahkan trauma jangka panjang.

Penelitian psikologi menunjukkan bahwa ejekan berulang yang dibungkus dalam guyonan bisa menurunkan tingkat kepercayaan diri, meningkatkan kecemasan sosial, hingga mendorong perilaku menarik diri dari lingkungan. Ini adalah luka yang tak terlihat, tapi sangat nyata.

Mengubah Cara Kita Melihat Humor

Sudah waktunya kita merevisi definisi humor. Bercanda bukan berarti bebas berkata apa saja. Humor yang sehat tidak menyakiti. Ia membuat semua orang merasa nyaman, termasuk yang menjadi objek lelucon.

Kita perlu mengedukasi diri bahwa menjadi asik bukan berarti membiarkan kata-kata menyakitkan berseliweran demi tawa. Justru, menjadi pribadi yang menyenangkan adalah mampu membuat orang lain tertawa tanpa merasa direndahkan.

Bercanda adalah seni, dan setiap seni punya etika. Tidak semua yang membuat orang tertawa pantas dilontarkan. Guyonan yang menyakitkan bukanlah wujud keakraban, melainkan bentuk kekerasan yang dibungkus tawa. Jika kita terus menormalisasi hal ini, maka kita sedang ikut melanggengkan budaya saling menyakiti yang terselubung.

Kesimpulan

Mengkritik candaan yang tidak lucu bukan berarti kita baperan, tapi justru tanda kita peduli. Peduli bahwa setiap kata punya dampak. Peduli bahwa rasa hormat lebih penting daripada tawa sesaat. Dan peduli bahwa dunia ini sudah cukup keras tanpa harus ditambah dengan guyonan yang melukai.

Jadi, sebelum melempar candaan, tanyakan dulu pada diri sendiri: apakah ini akan membuat orang tertawa, atau justru menambah luka yang tak kasat mata?

Topik