Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Artikel oleh Mince Oktaviani pada Jumat, 27 Juni 2025 pukul 02.14

Dampak Psikologis Kekerasan Seksual: Trauma Psikis hingga Trust Issue

Kekerasan seksual sebabkan luka psikis mendalam: PTSD, dissosiasi, false guilt, hingga trust issue. Korban butuh empati dan dukungan untuk pulih, bukan stigma.

Dampak Psikologis Kekerasan Seksual: Trauma Psikis hingga Trust Issue
A woman suffering in silence after trauma on tiktok

Ketika mendengar kisah korban kekerasan seksual, kita seringkali hanya membayangkan luka fisik atau skandal yang menyertainya. Padahal, luka yang paling dalam justru tidak tampak di permukaan. Luka itu menetap dalam pikiran dan jiwa korban. Mereka mungkin terlihat baik-baik saja, tersenyum seperti biasa, namun di dalam hatinya sedang bergelut dengan trauma yang berat.

Kekerasan seksual bukan sekadar tindakan fisik. Ini adalah pelanggaran menyeluruh atas rasa aman, kepercayaan, dan harga diri seseorang. Tak sedikit korban yang kemudian mengalami trauma psikis seperti PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), merasa bersalah atas sesuatu yang bukan salahnya, dan menarik diri dari kehidupan sosial. Dalam artikel ini, kita akan mengulas apa yang sebenarnya terjadi secara psikologis pada korban, dengan menggunakan istilah populer dalam psikologi yang tetap membumi dan mudah dipahami.

Trauma Psikis dan PTSD: Luka yang Selalu Terulang

Banyak korban mengalami trauma psikis jangka panjang, yang dalam istilah medis disebut PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Ini adalah kondisi serius yang membuat korban seperti terus-menerus mengulang hidup dalam pengalaman traumatisnya. Mimpi buruk, kilas balik (flashback), dan rasa panik mendadak bisa muncul kapan saja, bahkan bertahun-tahun setelah kejadian.

Misalnya, seorang perempuan yang pernah diserang di malam hari mungkin akan merasa cemas luar biasa setiap kali langit mulai gelap. Bahkan suara langkah kaki pun bisa memicu kecemasan hebat. Otaknya belajar untuk selalu siaga, seolah bahaya bisa datang kapan saja.

Rasa Bersalah Palsu (False Guilt)

Ironisnya, korban kekerasan seksual sering merasa seolah-olah mereka yang bersalah. Ini disebut false guilt atau rasa bersalah palsu. Korban bisa berpikir, “Aku mungkin salah pakai baju,” atau “Kenapa aku diam saja waktu itu?” Padahal, tidak ada satupun pembenaran atas kekerasan.

False guilt adalah beban psikologis yang merusak harga diri. Banyak korban enggan bercerita atau melapor karena takut disalahkan. Apalagi dalam budaya yang masih sering menyalahkan korban, perasaan bersalah ini semakin mengakar.

Dissosiasi atau Mati Rasa Emosional: Bertahan dengan Membeku

Ketika rasa sakit terlalu besar, otak manusia punya mekanisme bertahan yang disebut dissosiasi. Ini seperti mematikan emosi demi bertahan hidup. Korban bisa terlihat tenang, bahkan datar, bukan karena mereka tidak terluka. Tapi karena mereka sedang melindungi diri dari rasa sakit yang terlalu menyakitkan untuk dirasakan.

Dissosiasi bisa membuat korban merasa seperti dirinya terpisah dari tubuhnya, atau seolah sedang menonton dirinya sendiri dari luar. Ini bukan gangguan mental permanen, melainkan bentuk pertahanan psikologis. Tapi jika dibiarkan terlalu lama, bisa menghambat proses pemulihan.

Trust Issue dan Ketakutan Berulang

Setelah mengalami kekerasan seksual, membangun kepercayaan menjadi tantangan besar. Korban sering mengalami trust issue, terutama pada lawan jenis atau pada orang yang dulunya mereka percayai. Tidak jarang pula mereka mengalami ketakutan berulang (re-experiencing fear), bahkan pada situasi yang tampaknya aman.

Bagi korban, menjalin hubungan baru bukan sekadar belajar membuka hati. Itu seperti berjalan di atas kaca, dengan ketakutan bahwa luka lama akan terulang. Inilah mengapa dukungan emosional dari lingkungan sangat penting.

Dampak Jangka Panjang Berdasarkan Usia

Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual menunjukkan gejala yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka mungkin mengalami gangguan tidur, mimpi buruk, atau ketakutan yang tidak rasional. Beberapa anak kembali ke fase perkembangan sebelumnya (regresi), seperti kembali ngompol atau berbicara cadel. Mereka bisa menjadi sangat takut disentuh, bahkan oleh orang tua sendiri.

Kadang, anak tidak mampu menjelaskan apa yang terjadi. Mereka hanya menunjukkan perubahan perilaku yang drastis, seperti menjadi pendiam atau agresif. Penting bagi orang tua untuk peka dan tidak mengabaikan tanda-tanda ini.

Pada remaja dan dewasa, trauma sering memunculkan gejala seperti depresi, rasa hampa, hingga keinginan untuk menyakiti diri sendiri. Banyak yang memilih mengisolasi diri, enggan bergaul, dan merasa tidak layak dicintai. Hubungan asmara menjadi hal yang sulit dijalani karena luka kepercayaan belum pulih.

Beberapa korban juga mengembangkan mekanisme kompensasi, seperti bekerja terlalu keras, berpenampilan sempurna, atau terlalu berprestasi. Semua untuk menutupi luka batin yang sebenarnya belum sembuh.

Kesimpulan

Trauma kekerasan seksual adalah luka tak kasat mata yang bisa mengubah cara seseorang melihat dunia, orang lain, bahkan dirinya sendiri. Dengan memahami istilah seperti PTSD, false guilt, dissosiasi, dan trust issue, kita bisa lebih empatik dan bijak saat berhadapan dengan korban. Mereka tidak butuh penghakiman, mereka butuh ruang aman untuk pulih.

Mari kita hentikan budaya menyalahkan korban, dan mulai membangun lingkungan yang menyembuhkan, bukan melukai. Karena setiap korban punya hak untuk pulih, untuk merasa aman kembali, dan untuk hidup tanpa dihantui masa lalu.

Topik