Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Artikel oleh Muhammad Faishal pada Minggu, 11 Mei 2025 pukul 19.00

Dibalik Kata: Bagaimana Bahasa, Framing, dan Bias Membentuk Sudut Pandang Kita

Bahas bagaimana bahasa, framing, dan bias di media serta media sosial membentuk cara kita menafsirkan, merasakan, dan memahami dunia sekitar.

Pernahkah Anda terhanyut oleh satu berita, hanya untuk kemudian mengetahui fakta lain yang membuat Anda melihat semuanya dengan sudut pandang berbeda? Atau mungkin Anda tanpa sadar menilai sesuatu hanya dari kata-kata yang digunakan? Di dunia yang dipenuhi narasi, kata tidak sekadar kumpulan huruf. Ia adalah jendela, tembok, sekaligus cermin. Kata bisa membangun jembatan empati, atau sebaliknya, menciptakan jurang prasangka. Tak jarang, peran bahasa, framing, dan bias di media—termasuk media sosial yang kita konsumsi saban hari—luput dari perhatian. Namun, justru "dibalik kata", persepsi kita tentang dunia dipahat. 

Mari kita gali lebih dalam: bagaimana bahasa, framing, dan bias membentuk—dan membatasi—cara kita melihat, merasa, dan memahami dunia bersama-sama.

Bahasa: Lebih dari Sekadar Alat Komunikasi

Bahasa bukan sekadar alat pertukaran pikiran. Ia adalah budaya yang hidup, napas peradaban. Lewat bahasa, harapan, marah, cinta, ataupun takut berubah bentuk: menjadi narasi, status, atau tajuk berita. Namun, pilihan kata bisa menyembunyikan atau menonjolkan bias dan sudut pandang tertentu.

Mengapa seorang pemimpin disebut "visioner" di satu media, namun "kontroversial" di yang lain? Kata-kata membawa makna yang kadang samar: mewakili sejarah, kekuasaan, bahkan ideologi. Di Indonesia saja, istilah pelakor meramaikan jagat maya, sekaligus memperlihatkan bagaimana satu kata bisa menegaskan, bahkan memperkuat stigma sosial tertentu. Di tempat lain, kata "immigrant" atau "expat" memiliki warna sentimen yang berbeda, walau sama-sama menunjuk pendatang.

Framing: Membingkai, Membatasi, Mengarahkan

Framing terjadi saat media memilih bagaimana realitas dikisahkan. Sama seperti seorang fotografer yang menentukan bagian mana yang difokuskan, framing adalah "bingkai" yang menyoroti sudut tertentu dari cerita—kadang terang, kadang remang.

Bayangkan dua berita tentang kerusuhan: satu menulis "demonstrasi besar oleh warga", satu lagi memilih "kerusuhan massa yang anarkis". Narasi yang berbeda memberi nuansa dan rasa yang berbeda kepada pembaca. Keduanya mungkin benar, namun pembingkaian itulah yang membentuk penilaian awal kita. Di media sosial, framing bahkan lebih cair: satu potongan video, satu caption, cukup membelokkan pemahaman massa, memicu amarah, atau menumbuhkan harapan.

Bias: Ketidaksadaran yang Mengendap di Pikiran Kita

Bias kerap terasa samar—bagai bayangan di balik kaca. Kita semua memilikinya, sadar maupun tidak. Bias bahasa terjadi saat kata atau narasi sudah "dimiringkan" ke sisi tertentu. Media yang seolah objektif pun tak luput: pemilihan kutipan, cara menyusun informasi, hingga visual yang disuguhkan.

Ada bias konfirmasi (kita mencari informasi yang mendukung kepercayaan sendiri), ada juga bias otoritas (lebih mudah percaya karena "katanya ahli"). Bahkan dalam percakapan keluarga, "kok kamu jadi emosional sih?", menurunkan validitas perasaan, tanpa perlu argumen panjang-lebar. Bias ini, jika tidak disadari, bisa meruncingkan perbedaan, menutup ruang dialog, dan mempersempit kebinekaan pikir.

Media, Media Sosial, dan Kekuasaan Narasi

Dunia digital seolah menawarkan ruang yang lebih bebas—namun apakah benar demikian? Saring fakta dan opini di TikTok, X, atau Instagram: mudah sekali tergiring oleh viralitas, bukan kualitas. Algoritma ikut bermain, memperkuat apa yang ingin (atau sudah) kita percaya. Filter bubble tercipta, ruang gema terbentuk. Di sinilah framing dan bias melebur menjadi satu arus deras—melaju melampaui batas negara, usia, atau budaya.

Bahasa visual (gambar, meme, emoji) makin menegaskan fungsi framing hari ini. Satu meme bisa lebih tajam dari editorial. Dua emoji saja seringkali cukup untuk "menyimpulkan" cerita. Kultur global, lewat bahasa digital, mempercepat penyebaran bias sekaligus membuka peluang refleksi lintas budaya. Namun akankah kita cukup jeli membaca makna di balik kata?

Membuka Ruang Refleksi: Bisa Lebih Terbuka?

Sadarkah Anda, betapa mudahnya perasaan ikut terbakar ketika membaca berita "keras"? Atau sebaliknya, acuh ketika tragedi disebut "musibah biasa"? Kemampuan kita untuk reflektif—menahan emosi sesaat, mengamati "cara" berita disampaikan, serta memahami kemungkinan ada bias di balik setiap narasi—adalah benteng penting dalam dunia yang penuh informasi dan interpretasi ini.

Bersikap reflektif bukan berarti mencurigai semua hal, tapi memberi jeda, mencoba membaca lebih dari satu sumber, dan sesekali mengajukan pertanyaan: Siapa yang diuntungkan dengan narasi ini? Untuk siapa framing ini dibuat? Nilai apa yang ingin ditegaskan atau diragukan?

Bahasa, Framing, dan Bias: Jembatan atau Jurang?

Pada akhirnya, bahasa, framing, dan bias adalah alat. Ia bisa memperluas empati, atau malah mempersempitnya. Dalam budaya yang beragam, cara kita menafsirkan kata adalah tanggung jawab bersama. Multilingualism—kemampuan mencerna pesan dalam lebih dari satu bahasa—membuka ruang untuk mengerti banyak perspektif dan mengurangi bias kultural. Platform seperti Makna Media yang mengusung keterbukaan budaya dan empati lintas bahasa, menjadi penting demi memperluas cakrawala dan mengingatkan bahwa narasi yang menang, belum tentu narasi yang benar-benar mewakili semua suara.

Kesimpulan

Masuk untuk membuka bagian ini.
Akses lengkap ke konten ini hanya tersedia untuk pengguna terdaftar.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur. Excepteur sint occaecat cupidatat non proident, sunt in culpa qui officia deserunt mollit anim id est laborum.

Penutup

Mari kita jaga agar obrolan ini tak berhenti di sini. Silakan bagikan cerita, renungan, atau pengalaman Anda tentang kata, framing, dan bias—di manapun Anda berada dan bahasa apapun Anda gunakan. Bersama, kita bisa menghamparkan jembatan pemahaman di lintas kultur dan generasi.

Topik

Advertisement