Di era digital ini, hampir semua orang memiliki akses internet dan smartphone. Namun ironisnya, kemudahan itu belum sejalan dengan kemampuan dalam memilah dan memahami informasi. Banyak masyarakat kita merasa cukup "cerdas" hanya karena tahu cara menggunakan Google atau media sosial. Padahal, literasi digital jauh lebih dalam dari itu — bukan sekadar alat, tapi juga cara berpikir.
Literasi Digital ≠ Melek Teknologi
Menurut UNESCO, literasi digital mencakup kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, menggunakan, dan menciptakan informasi secara bijak. Namun, masih banyak masyarakat yang hanya berhenti di tahap "akses". Bisa membuka aplikasi berita atau mengetik kata kunci di Google tidak serta-merta menjadikan seseorang informatif.
Sebagai penulis berita, Penulis merasakan betul bagaimana sebagian besar pembaca hanya membaca judul dan mengabaikan isi artikel sepenuhnya. Bahkan, beberapa dari mereka langsung menyebarkan informasi itu tanpa mengecek konteks sebenarnya. Akibatnya, tujuan pemberitaan yang ingin menyampaikan informasi dengan jernih justru dibelokkan dan dimanipulasi oleh narasi liar pembaca yang tidak bertanggung jawab.
Dampak: Polarisasi dan Misinformasi
Minimnya kemampuan membaca berita secara utuh sering menimbulkan efek domino berupa misinformasi. Akibat membaca potongan berita, banyak yang langsung bereaksi emosional. Tak jarang muncul komentar kasar, hujatan yang tidak berdasar, atau tuduhan yang menyerang pihak tertentu tanpa dasar argumen yang kuat.
Ini bukan asumsi, tapi realitas. Penulis sering menjumpai kerabat sendiri yang menelan mentah-mentah informasi yang tidak benar. Untuk meluruskan hal tersebut, Penulis harus mencari sumber resmi dan valid — sebuah pekerjaan tambahan yang mestinya bisa dicegah jika masyarakat memiliki kebiasaan verifikasi sejak awal.
Judul Bukan Segalanya
Sayangnya, budaya "judul adalah segalanya" masih melekat kuat di ruang publik digital kita. Padahal, justru isi berita itulah yang memuat kutipan, konteks, dan sumber primer. Membaca hanya dari satu sumber sangat rentan menyesatkan, apalagi bila sumber tersebut tidak memiliki reputasi jurnalistik yang kredibel.
Kesimpulan
Kita tidak sedang kekurangan informasi — kita kekurangan keinginan untuk memproses informasi dengan baik. Literasi digital harus dimulai dari diri sendiri. Membaca dengan tuntas, memeriksa sumber, dan menyikapi informasi dengan akal sehat adalah langkah kecil yang berdampak besar.
Penutup
Penulis secara pribadi, percaya bahwa memperkaya diri dengan bacaan dari berbagai sumber, termasuk artikel, berita, bahkan cerita fiksi, bisa memperkuat logika dan intuisi berpikir. Jika kita ingin menjadi agen perubahan di tengah banjir informasi saat ini, maka tugas pertama kita adalah melatih diri untuk berpikir kritis. Karena di tengah dunia yang cepat menyebar, hanya pikiran yang hati-hati yang bisa menyaring mana yang benar dan mana yang perlu ditinggalkan.
Tanggapan