Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Artikel oleh Muhammad Faishal pada Selasa, 17 Juni 2025 pukul 16.55

Sejarah dan Peran Kopi dalam Peradaban Dunia Islam

Kisah kopi, dari sahara Arab hingga masjid-masjid—minuman ini lebih dari sekadar penghilang kantuk. Perannya di dunia Islam begitu mendalam dan luas.

Pernahkah Anda menikmati secangkir kopi sambil merenung di pagi hari, lalu bertanya-tanya bagaimana minuman pahit ini bisa begitu mendunia? Di balik aroma pekat dan rasa yang khas, kopi menyimpan kisah panjang, terutama dalam kaitannya dengan peradaban Islam. Dari sudut-sudut kota di Yaman hingga pusat-pusat kebudayaan di Istanbul, kopi telah merekatkan hati dan pikiran, menjadi mata rantai yang menghubungkan sembahyang, diskusi spiritual, hingga pertemuan intelektual. Mari bersama-sama menyusuri lintasan sejarah kopi di dunia Islam—sebuah kisah tentang perjumpaan, perubahan, dan kebijaksanaan budaya.

Mula-Mula: Kopi di Tangan Para Sufi

Bila menelusuri jejak sejarah kopi, sulit melepaskan peran sentral dunia Islam sebagai jalan masuk pertama minuman ini ke dalam kehidupan bermasyarakat. Legenda yang sering diceritakan berpusat di tanah Yaman sekitar abad ke-15, saat para sufi di Shadeli dan Mocha mulai mengkonsumsi kopi sebagai cara untuk tetap terjaga sepanjang malam-malam ibadah mereka. Konon, para sufi percaya bahwa kopi membantu mereka lebih khusyuk berzikir dan melakukan qiyamul lail tanpa dilanda kantuk.

Pada masa itu, kopi bukan sekadar minuman biasa. Ia menjadi simbol pengabdian, medium untuk mendekatkan diri pada Tuhan lewat ibadah yang berkelanjutan. Kisah ini pun menyebar ke Mekkah dan Madinah, di mana jamaah haji dan pedagang membawa berita dan biji kopi ke seluruh dunia Muslim.

Kopi dan Lahirnya Kafe: Titik Temu Intelektual

Sedikit demi sedikit, kopi mulai memasuki ranah sosial yang lebih luas. Tidak hanya di sudut-sudut masjid, melainkan juga di tempat yang kemudian menjadi cikal bakal kafe modern. Di Istanbul, Kairo, Damaskus, hingga Baghdad, warung kopi tumbuh subur sebagai “majlis”—tempat diskusi, bertukar gagasan, hingga menulis puisi. Inilah awal mula munculnya qahveh khaneh, istilah kafe dalam dunia Islam. Tak berlebihan bila kopi disebut turut menghidupkan tradisi debat, pengajaran, bahkan gerakan literasi di dunia Islam.

Barangkali kita bisa membayangkan: sekumpulan anak muda berkumpul, secangkir kopi di tangan, mendebatkan filsafat, pemerintahan, atau tafsir agama. Suasana seperti ini digambarkan dengan apik oleh para penulis sejarah Turki Usmani. Kebersamaan di kafe menjadi pelipur lara, ruang rehat sekaligus wadah menyemai pemikiran progresif.

Antara Kontroversi dan Spiritualitas

Meski sekarang kopi terasa akrab, perjalanannya bukan tanpa aral. Di beberapa masa dan tempat, kopi pernah dianggap haram. Ulama dan penguasa menilai kopi bisa menimbulkan kegaduhan atau melenakan akal sehat. Larangan sempat diberlakukan beberapa kali—dari Mekah hingga Kairo. Namun, setelah debat panjang, mayoritas ulama dan masyarakat menyepakati bahwa kopi tidak berbeda dengan minuman halal lain selama tak memabukkan.

Pertentangan mengenai kopi mengingatkan kita akan dinamika dalam merespons hal baru—antara ketakutan akan perubahan dan keberanian untuk membuka diri. Singkat kisah, kopi akhirnya menjadi bagian keseharian umat Muslim, bahkan mendukung ragam aktivitas spiritual dan sosial, dari masjid hingga pasar.

Migrasi Kopi dari Dunia Islam ke Seluruh Dunia

Dari jazirah Arab, kopi menyeberang ke Turki Usmani lalu Eropa. Kafe atau coffee house pertama di London dibuka oleh imigran asal Yunani yang belajar budaya kopi di Istanbul. Proses migrasi ini justru memperkaya, karena setiap budaya menyerap kopi dengan cara dan filosofi sendiri. Namun tak bisa dipungkiri, akarnya tetap dalam—dan banyak praktik kopi modern hari ini terinspirasi dari dunia Islam: penyajian kopi dengan rempah, budaya ngobrol di kafe, dan bahkan istilah qahwa yang akhirnya menjadi "coffee" dalam bahasa Inggris.

Di tengah derasnya globalisasi, kopi masih punya kekuatan mengikat perasaan kolektif. Coba perhatikan, bahkan di masa kini, banyak masjid, rumah, dan perhimpunan sosial di negara mayoritas Muslim yang tetap menghidangkan kopi saat menerima tamu, merayakan kebersamaan, atau menutup sesi pembacaan kitab suci.

Kopi dalam Simbolisme, Tradisi, dan Inovasi

Bicara kopi dalam dunia Islam bukan hanya bicara soal minumannya. Ada makna kebersamaan, kesempatan untuk mendengar dan didengar, dan—yang tak kalah penting—tradisi menerima tamu sebagai bentuk penghormatan. Di berbagai budaya Islam, menyuguhkan kopi adalah bentuk keramahan. Di Arab Saudi, misalnya, secangkir gahwa (kopi Arab) dengan kurma adalah lambang penghormatan tertinggi pada tamu.

Tak hanya itu, kopi juga mengilhami inovasi seni, kerajinan tangan, hingga ekonomi kreatif di negeri-negeri Muslim. Mulai dari lukisan, keramik, sampai aroma parfum yang terinspirasi kopi, menandakan peluang kreasi yang terus berevolusi. Bahkan, di masa sekarang, anak-anak muda Muslim aktif membangun gelombang baru kedai kopi yang tetap menjaga akar nilai, tetapi terbuka untuk eksperimen rasa dan diskusi lintas budaya.

Renungan: Kopi sebagai Jembatan Kemanusiaan

Pada akhirnya, kopi di dunia Islam telah menggoreskan garis-garis penghubung—antara zaman, generasi, hingga lintas agama dan budaya. Minuman ini pernah dicemaskan, juga dirayakan. Pernah diragukan, kemudian diterima. Kopi, dalam sederhana maknanya, adalah ruang untuk duduk bersama, membuka percakapan, dan berbagi kisah. Menarik untuk direnungi: apakah secangkir kopi berikutnya bisa menginspirasi kita untuk lebih mengenal satu sama lain, atau bahkan diri sendiri?

Kesimpulan

Kopi bukan hanya tentang rasa atau kebiasaan, tapi juga tentang kisah panjang hubungan antar manusia—tentang spiritualitas, kehangatan, dan keterbukaan. Di dunia Islam, peran kopi telah membentuk peradaban, menuntun perjumpaan lintas generasi dan lintas makna. Barangkali, secangkir kopi adalah undangan untuk lebih memahami sejarah, dan manusia lain.

Penutup

Terima kasih telah menyelami sejarah dan peran kopi di dunia Islam bersama saya hari ini. Semoga artikel ini membangkitkan minat Anda untuk melihat secangkir kopi, bukan lagi sekadar minuman, tapi juga sebagai jembatan dialog dan refleksi. Selamat menikmati kopi Anda, apapun latar budayanya!

Topik