Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Artikel oleh Muhammad Faishal pada Jumat, 27 Juni 2025 pukul 04.58

Kenapa Tahun Baru Hijriah Tidak Semeriah Tahun Baru Masehi?

Refleksi tentang perayaan Tahun Baru Hijriah yang sering kali kurang dirayakan, serta bagaimana sikap umat Islam terhadap makna spiritual pergantian tahun.

Kenapa Tahun Baru Hijriah Tidak Semeriah Tahun Baru Masehi?
Illustration by Sora with content description as the prompt.

Setiap tanggal satu Januari, dentuman kembang api dan gegap gempita menerangi malam di banyak penjuru dunia. Langit dipenuhi cahaya, jalan-jalan dipadatkan euforia, dan suara hitungan mundur terdengar di segala ruang. Tapi, mari kita berhenti sejenak dan bertanya—mengapa kehebohan itu terasa redup, bahkan hampir tak ada, ketika kalender asing digantikan oleh 1 Muharram, penanda Tahun Baru Hijriah? Jika kita adalah bagian dari masyarakat Muslim, pertanyaan ini seperti cermin kecil yang membuat kita menengok kembali ke dalam. Mungkinkah ada yang terlupa, atau sekadar terabaikan?

Tahun Baru antara Tradisi dan Spiritualitas

Tahun Baru Masehi tentu sudah menjadi tradisi lintas budaya. Ia bukan sekadar pergantian tanggal, tapi pesta kolektif yang merayakan harapan dan kesempatan baru. Di sisi lain, Tahun Baru Hijriah yang notabene murni lahir dari tradisi Islam, justru sering berjalan sunyi. Bahkan bagi sebagian besar masyarakat Muslim, 1 Muharram berlalu tanpa gaung, tidak ada keramaian, tidak ada perayaan masif, seolah hanyut dalam arus kesibukan sehari-hari.

Sejarah Singkat Tahun Baru Hijriah

Jauh sebelum kembang api ada, Tahun Baru Hijriah menandai peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah—yang menandai transformasi besar, bukan sekadar perjalanan geografis, melainkan perjuangan penuh makna spiritual untuk mempertahankan iman dan membangun masyarakat yang lebih baik. Di sinilah letak keistimewaan kalender Hijriah bagi umat Islam: ia adalah penanda sejarah perjuangan dan harapan baru dalam cahaya iman.

Lalu, Ke Mana Hilangnya Euforia?

Tak sedikit di antara kita yang secara sadar ataupun tak sadar lebih menantikan pesta Tahun Baru Masehi daripada merenungi makna datangnya 1 Muharram. Barangkali, sebagian kita tenggelam dalam arus tren globalisasi, di mana symbol-simbol modern begitu mudah memikat, sementara makna-makna keimanan dan sejarah spiritual justru kerap tersingkirkan di sudut ruang hati. Apakah ini sekadar masalah tradisi yang tak diajarkan turun temurun, atau memang cerminan dari sikap kita terhadap agama?

Kerapuhan Identitas dan Pilihan untuk Kurang Mengutamakan Agama

Seringkali, pengabaian terhadap Tahun Baru Hijriah menjadi refleksi kecil bagaimana kita memposisikan agama dalam hidup sehari-hari. Banyak yang mengaku Muslim, namun ketika bicara tentang identitas dan prioritas, makna agama kerap tergeser oleh hal-hal lain yang lebih "hidup" di ruang publik dan sosial media. Merayakan Tahun Baru Masehi seolah menjadi tolak ukur kebaruan dan kemodernan, sementara Tahun Baru Hijriah dianggap hanya ritual keagamaan tanpa warna.

Cukup banyak dari kita yang lebih memilih mengikuti arus mayoritas, mengadopsi kebiasaan umum tanpa menanyakan kembali makna dari tiap perayaan. Bukankah ini refleksi dari kecenderungan untuk menyesuaikan diri, bahkan jika harus menanggalkan identitas atau mengecilkan makna spiritualitas yang sesungguhnya paling menggenggam hidup kita?

Agenda Media dan Kurangnya Advokasi Sosial

Salah satu faktor yang memengaruhi kurang semaraknya Tahun Baru Hijriah adalah kuatnya dominasi media dan industri hiburan dalam mengemas perayaan Tahun Baru Masehi. Hampir semua lini televisi, radio, hingga sosial media menggemakan pesan-pesan pergantian tahun, menghadirkan hiburan dan selebrasi yang dirancang amat meriah. Sementara itu, Tahun Baru Hijriah cenderung terbatas dalam narasi religius formal—seringkali hanya sebatas doa bersama atau pengajian sesaat, tanpa nuansa kebersamaan yang memikat generasi muda.

Lalu, apakah ujung-ujungnya ini menunjukkan bahwa semangat spiritual kadang memang lebih sulit untuk "dijual" atau dirayakan massal? Atau justru menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas Muslim untuk menemukan cara yang baru dalam menanamkan nilai tahun baru Islam agar tetap hangat hingga generasi mendatang?

Refleksi Sosial: Antara Ritual dan Esensi

Tentu, perayaan bukanlah esensi utama dari tahun baru, apapun kalendarnya. Namun, esensi budaya dan sosial yang mengitari setiap ritual menandai bagaimana suatu kelompok masyarakat memilih untuk merawat atau mengabaikan warisan spiritualnya. Tahun Baru Hijriah sebenarnya mengajak pada perenungan: sudahkah kita benar-benar memahami dan menjalankan hijrah—transformasi diri ke arah yang lebih baik—setiap tahunnya? Atau sekadar mengikuti alur tanpa makna?

Di beberapa tempat, terutama di pedesaan dan lingkungan pesantren, suasana 1 Muharram tetap dirayakan dengan doa bersama, pawai obor, hingga pembacaan kisah hijrah Nabi. Namun cahayanya kerap tak sampai ke pusat perhatian publik, apalagi ke lingkaran komunitas urban yang sibuk dengan rutinitas dan ragam hiburan instan.

Mengapa Kita Perlu Menumbuhkan Semangat Tahun Baru Hijriah?

Menyambut 1 Muharram tak berarti harus meniru pesta pora Tahun Baru Masehi. Justru, ada kekuatan dalam kesederhanaan, spiritualitas, dan kehangatan komunitas yang dapat menjadi inspirasi bersama. Semangat hijrah adalah momentum untuk evaluasi diri, membangun komitmen, dan memperbaiki ikatan dengan sesama serta Sang Pencipta. Mungkin inilah momen untuk bertanya pada hati: sejauh mana agama benar-benar menjadi prioritas dalam hidup kita?

Bukan Soal Melarang atau Membatasi

Tentu, tak ada salahnya merayakan kebahagiaan, termasuk di Tahun Baru Masehi. Persoalannya—jangan sampai euforia sekadar jadi rutinitas tanpa makna. Lebih penting lagi, jangan biarkan tradisi dan identitas spiritual kita tergerus arus zaman. Merayakan Tahun Baru Hijriah bukan soal membandingkan siapa yang lebih meriah, tapi seberapa sungguh kita ingin menghidupkan makna perjalanan spiritual dalam kehidupan yang sering riuh dengan distraksi.

Jalan Menuju Refleksi Bersama

Pada akhirnya, mungkin tahun-tahun yang jatuh sunyi di setiap 1 Muharram adalah alarm lembut bagi kita untuk mulai menata ulang prioritas batin. Generasi masa kini punya peluang lebih besar untuk hadir di ruang-ruang publik, mengangkat narasi hijrah dengan kreatif tanpa kehilangan makna. Tak perlu khawatir tampil berbeda, karena justru dari keberanian merawat tradisi, kita belajar berempati, saling hormat, dan menemukan rumah spiritual dalam hiruk pikuk dunia modern.

Kesimpulan

Mengakhiri refleksi ini, jelas bahwa perbedaan semarak antara Tahun Baru Masehi dan Tahun Baru Hijriah bukan hanya soal tradisi atau gaya perayaan. Lebih dari itu, ada nilai-nilai spiritual dan kedalaman makna yang seringkali tersembunyi di balik sunyinya peringatan Hijriah di kalangan umat Islam. Tahun Baru Hijriah seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk menengok ke dalam diri, mengevaluasi perjalanan hidup, serta memperbarui niat dan semangat dalam menjalani keberagamaan secara lebih hakiki. Tanpa hura-hura, perenungan justru menjadi inti utama, menawarkan ruang untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperkuat ikatan dengan sesama. Dengan demikian, walaupun tampak sederhana, makna pergantian tahun ini begitu penting dalam membentuk karakter dan arah hidup seorang Muslim.

Penutup

Terima kasih sudah membersamai renungan ini. Semoga setiap tahun yang baru, apapun kalendernya, menjadi pijakan untuk hidup lebih bermakna dan penuh kasih bagi sesama.

Topik