Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Artikel oleh Mince Oktaviani pada Sabtu, 21 Juni 2025 pukul 01.22

Toxic Masculinity dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental Pria

Stigma pria harus kuat membuat banyak pria memendam luka mental dan takut minta tolong. Sudah saatnya kita akui bahwa pria pun berhak rapuh dan disembuhkan.

Toxic Masculinity dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental Pria
A heartbroken man in tears on freepik

Di tengah gempuran kampanye kesehatan mental, isu kesehatan mental pria masih kerap terpinggirkan. Padahal, pria pun manusia yang memiliki emosi, luka batin, dan trauma yang nyata. Sayangnya, banyak pria memilih diam karena takut dianggap lemah. Lebih buruk lagi, ketika ada yang berani bersuara, tak sedikit yang justru meragukan kesaksiannya.

Di Indonesia, stigma terhadap kesehatan mental pria begitu mengakar. Pria dituntut selalu kuat, tidak boleh menangis, apalagi mengeluh. Ketika ada seorang pria mengaku menjadi korban pelecehan seksual di media sosial, alih-alih mendapat empati, ia justru dihujat dan dituduh menikmati peristiwa tersebut. Inilah gambaran nyata betapa maskulinitas beracun masih membungkam suara-suara luka yang ingin disembuhkan.

Stigma yang Membungkam: “Pria Harus Kuat”

Sejak kecil, anak laki-laki sering dididik untuk tahan banting. Saat menangis, mereka dibilang cengeng. Saat terluka, mereka diminta diam. Semua ini menanamkan pesan tak langsung bahwa emosi bukan milik pria. Maka, ketika mereka tumbuh dewasa, mereka merasa bersalah jika merasa sedih, takut, atau hancur secara emosional.

Akibatnya, banyak pria memilih memendam perasaan. Mereka tidak mencari bantuan saat mengalami tekanan mental, merasa malu mengakui depresi, bahkan menghindari terapi karena takut dicap lemah. Hal ini berdampak pada meningkatnya angka bunuh diri pada pria dewasa, yang seringkali terjadi diam-diam, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya.

Korban yang Tidak Dipercaya: Pelecehan Seksual pada Pria

Meski terdengar tabu, pelecehan seksual terhadap pria nyata adanya. Namun ketika ada pria yang mengaku sebagai korban, reaksi publik sering kali menyakitkan. Alih-alih mendukung, banyak yang mencibir, bahkan menuduh bahwa pria tersebut munafik atau tidak mungkin dilecehkan.

Hal ini tidak hanya mencerminkan ketidaktahuan masyarakat soal pelecehan, tetapi juga menunjukkan betapa rendahnya empati terhadap korban pria. Ini membuat korban semakin merasa terisolasi, malu, dan enggan melapor. Padahal, trauma seksual bisa menghancurkan identitas dan kesehatan mental siapa pun, tak peduli gendernya.

Dampak Jangka Panjang: Luka yang Tidak Diobati

Ketika luka batin tidak mendapat ruang untuk sembuh, ia akan berkembang menjadi berbagai masalah serius. Pria yang tidak pernah diberi ruang untuk mengungkapkan perasaannya cenderung melampiaskan tekanan dengan cara destruktif. Mulai dari menyalahgunakan alkohol, agresif terhadap pasangan, atau menarik diri dari kehidupan sosial.

Lebih dari itu, beban mental yang terus dipendam dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, hingga skizofrenia. Sayangnya, karena stigma yang masih kuat, gangguan ini kerap tidak terdiagnosis hingga pada tahap yang sudah berat.

Peran Lingkungan: Mari Ubah Narasi

Perubahan harus dimulai dari sekitar kita. Lingkungan keluarga, pertemanan, hingga tempat kerja harus menjadi ruang aman bagi pria untuk mengungkapkan perasaannya tanpa takut dihakimi.

Orangtua perlu mengubah pola asuh. Ajarkan pada anak laki-laki bahwa menangis bukan tanda kelemahan, tapi bentuk keberanian mengakui perasaan. Di media sosial, kita harus berhenti mempermalukan pria yang berani bersuara. Empati harus diberikan tanpa syarat, tanpa standar ganda.

Menormalisasi Terapi untuk Semua Gender

Terapi dan konseling bukan hanya untuk wanita. Pria juga berhak mendapat bantuan profesional. Saat seseorang mengalami luka fisik, ia pergi ke dokter. Maka, saat mental terguncang, tidak ada salahnya menemui psikolog.

Dengan semakin banyak pria yang berani menjalani terapi, akan tercipta narasi baru bahwa sehat mental bukan soal gender, tapi soal keberanian menjaga diri sendiri. Banyak figur publik pria, dari atlet hingga aktor, sudah mulai membuka diri tentang kesehatan mental mereka. Ini adalah langkah positif yang perlu kita dukung.

Kesimpulan

Kesehatan mental pria adalah isu serius yang selama ini tenggelam dalam bayang-bayang budaya patriarki. Kita harus sadar bahwa di balik wajah tegar seorang pria, bisa saja tersembunyi luka yang dalam. Sudah saatnya masyarakat berhenti menuntut pria untuk selalu kuat, dan mulai menyediakan ruang untuk mereka menjadi manusia seutuhnya yang bisa menangis, mengaku lelah, dan meminta pertolongan.

Mengakui kesehatan mental bukan kelemahan, melainkan bentuk tanggung jawab atas diri sendiri. Dan untuk para pria di luar sana, ketahuilah bahwa perasaanmu valid. Suaramu penting. Kamu tidak sendirian

Topik

Whatsapp Facebook Twitter Linkedin Pinterest Telegram

Kreator

Mince Oktaviani

Mince Oktaviani

Lihat Profil

Tanggapan (2)

Azizah Islami
Azizah Islami 1 minggu yang lalu

Artikel yang bermanfaat, kakak.

tomi yoyoi
tomi yoyoi 1 minggu yang lalu

Keren

Lihat Semua Tanggapan