Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Berita oleh Muhammad Faishal pada Senin, 02 Juni 2025 pukul 12.43

Ketegangan Perang Dagang China–AS Meningkat Usai Kontrol Ekspor AI dan Pembatalan Visa

Ketegangan China-AS memuncak pada Juni 2025 setelah AS kontrol ekspor chip AI dan batalkan visa pelajar Tiongkok, langgar gencatan senjata dagang di Jenewa.

Ketegangan Perang Dagang China–AS Meningkat Usai Kontrol Ekspor AI dan Pembatalan Visa
American flags are displayed together with Chinese flags on top of a trishaw on Sept. 16, 2018, in Beijing. (AP Photo/Andy Wong, File)

Ketegangan antara China dan Amerika Serikat kembali menjadi sorotan dunia pada awal Juni 2025 setelah serangkaian langkah yang diambil kedua negara menimbulkan kekhawatiran akan pecahnya konflik dagang baru. Pemerintah AS menerapkan kontrol ekspor yang lebih ketat terhadap chip kecerdasan buatan (AI) pada pertengahan Mei 2025. Langkah ini membatasi penjualan perangkat keras dan lunak AI kepada negara-negara tertentu, khususnya China, dengan alasan keamanan nasional dan perlindungan teknologi strategis. Selain itu, Washington secara sepihak membatalkan sejumlah visa pelajar dan peneliti asal Tiongkok, memicu kecaman keras dari pihak Beijing. Kedua kebijakan ini dikeluarkan hanya beberapa minggu setelah tercapainya gencatan senjata dagang berdurasi 90 hari, hasil dari pertemuan tingkat tinggi antara delegasi kedua negara di Jenewa pada Maret 2025.

Menanggapi langkah tersebut, Kementerian Perdagangan China mengecam keras kebijakan pemerintah AS dan menuding Washington telah melanggar semangat serta isi gencatan senjata yang telah disepakati. Menurut pernyataan resmi pemerintah Tiongkok, mereka telah melaksanakan kewajiban pengurangan tarif impor barang dari Amerika Serikat sesuai komitmen, namun langkah AS justru mengancam stabilitas dan kepercayaan dalam hubungan dagang bilateral. Tidak hanya itu, Beijing kemudian mengisyaratkan kemungkinan menahan ekspor berbagai bahan tambang strategis, terutama rare earth dan logam penting lain yang menjadi penopang industri teknologi global. China menegaskan ingin menghindari eskalasi, tetapi siap mengambil tindakan balasan yang "tepat dan proporsional" demi melindungi kepentingan nasional.

Situasi ini berdampak langsung pada pasar keuangan internasional. Sejumlah bursa saham utama di kawasan Asia dan Eropa dibuka dengan pelemahan, terutama di sektor teknologi, otomotif, dan manufaktur. Harga saham perusahaan pembuat chip dan produsen mobil listrik mengalami tekanan akibat kekhawatiran akan terganggunya rantai pasok global. Harga minyak mentah turut melonjak tipis karena kekhawatiran penurunan suplai bahan baku dan meningkatnya ongkos produksi. Para analis memperkirakan volatilitas di pasar akan terus berlanjut setidaknya hingga adanya kepastian mengenai hasil negosiasi tingkat tinggi yang dijadwalkan berlangsung antara Presiden Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump pada paruh kedua Juni 2025.

Persaingan teknologi dan geopolitik menjadi faktor utama penyebab memburuknya situasi. Di luar kontrol ekspor chip AI, isu sensitif lain yang memanaskan suasana adalah status Taiwan dan kontrol atas ekspor nikel. Washington menegaskan bahwa pasokan nikel dunia tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh Beijing, mengingat pentingnya logam ini untuk produksi baterai kendaraan listrik. Di sisi lain, beberapa pejabat tinggi AS menyatakan Taiwan sebagai "kepentingan strategis mutlak" bagi Amerika, pernyataan yang langsung ditanggapi keras oleh pemerintah China. Beijing menilai pandangan tersebut berpotensi membahayakan stabilitas regional dan dapat memicu gesekan militer di Selat Taiwan.

Dari sisi proses negosiasi, tantangan semakin berat seiring meletusnya isu kontrol ekspor chip, yang datang hanya beberapa waktu setelah penyelanggaraan pertemuan Jenewa. Baik delegasi China maupun AS pada saat ini tampaknya berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan resmi, berfokus pada penyelesaian di tingkat staf teknis agar tidak menambah ketegangan di tingkat kepala negara. Meski demikian, sebagian pengamat menilai kedua pihak terjebak dalam pola negosiasi yang saling menekan dan sulit mendahulukan kompromi. Upaya membangun kembali kepercayaan setelah insiden ini dinilai tidak mudah, terlebih dengan tekanan domestik di kedua negara agar pemerintah mengambil sikap tegas dalam melindungi kepentingan nasional.

Hingga pertengahan Juni 2025, perhatian dunia terus terpusat pada arah kebijakan berikutnya yang akan diambil Washington dan Beijing. Pengamat memperkirakan bahwa ketidakpastian akan berlanjut jika kedua pihak tidak memberi sinyal kuat tentang kesiapan untuk kembali duduk di meja perundingan. Sejumlah negara mitra dagang pun telah mengimbau pentingnya meredam eskalasi demi menyelamatkan stabilitas ekonomi global yang masih rentan di tengah pemulihan pasca pandemi.

Topik

Advertisement