Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Artikel oleh Mince Oktaviani pada Rabu, 9 Julai 2025 pada 3:21 PG

Kecemasan Sosial Dalam Budaya Sungkan: Luka Psikologis Yang Kerap Diabaikan

Budaya sungkan sering menyelubungi kecemasan sosial dengan kesopanan. Diam, takut menolak, dan ragu bisa jadi luka tersembunyi yang tidak pernah diungkapkan.

Kecemasan Sosial Dalam Budaya Sungkan: Luka Psikologis Yang Kerap Diabaikan

Di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, kita dibesarkan dalam budaya yang menjunjung tinggi kesopanan, kerendahan hati, dan sikap tahu diri. Nilai-nilai ini memang positif dan membentuk masyarakat penuh penghormatan. Namun, di balik itu, muncul fenomena yang jarang diperbincangkan: kecemasan sosial yang terselubung dalam sikap sungkan dan takut menyakiti perasaan.

Sayangnya, dalam konteks budaya ini, rasa cemas ketika bersosialisasi—seperti takut bicara di depan umum, tertekan karena sulit menolak permintaan, atau khawatir menyampaikan pendapat—sering dianggap hal biasa, bahkan dipandang sebagai sebuah kesopanan yang mulia.

Padahal, apa yang kita sebut "sungkan" itu bisa jadi adalah luka psikologis yang tak pernah diproses.

Antara Tahu Diri dan Takut untuk Berbicara

Sejak kecil, kita diajarkan untuk "diam saat orang tua berbicara", "jangan melawan guru", "jangan banyak tanya", "jangan egois", dan "jangan membuat malu keluarga". Pesan-pesan ini, meski bermaksud baik, secara perlahan membentuk mentalitas tunduk tanpa suara. Banyak dari kita tumbuh dengan perasaan tidak layak untuk berbicara, takut salah, dan enggan mengekspresikan diri.

Ketika memasuki dunia kerja atau lingkungan sosial yang lebih luas, pola ini tetap melekat. Kita sulit berkata tidak, sulit mengungkapkan perasaan, bahkan sekadar berkata "saya keberatan" bisa terasa seperti kesalahan besar. Kita menahan diri bukan karena kuat, tapi karena takut dianggap kurang sopan.

Inilah akar kecemasan sosial yang tersembunyi di balik budaya sungkan.

Kecemasan yang Dianggap Sebagai Karakter Baik

Kecemasan sosial dalam budaya kita kerap dinormalisasi. Seseorang yang gelisah saat rapat dianggap rendah hati. Orang yang takut menegur teman dianggap tidak ingin cari masalah. Padahal, bisa jadi itu adalah bentuk ketidaknyamanan yang berkepanjangan, bukan sebuah kebajikan.

Budaya "jangan merepotkan orang lain" semakin memperburuk situasi. Seorang mahasiswa yang mengalami serangan panik saat presentasi mungkin memaksa diri demi tidak mengecewakan dosen. Pekerja yang ingin mengajukan cuti karena kelelahan mental malah merasa bersalah karena dianggap tidak tahan banting. Semuanya ditahan, dipendam, dan disebut sebagai sikap dewasa.

Kita sulit membedakan: mana yang benar-benar sopan, dan mana yang hanya luka yang dibungkam?

Tidak Enakan Bukan Selalu Tanda Kebaikan Hati

Salah satu ekspresi umum kecemasan sosial dalam budaya Asia adalah "tidak enakan". Ungkapan ini terdengar ringan dan akrab, tetapi bagi sebagian orang, tidak enakan adalah sumber kecemasan kronis yang melelahkan.

Bayangkan harus menyetujui setiap ajakan, menerima setiap tanggung jawab tambahan, atau menahan diri untuk tidak mengatakan tidak hanya karena takut mengecewakan. Ini bukan soal empati semata, melainkan hilangnya batasan diri.

Orang yang terlalu sering merasa tidak enakan bisa mengalami kelelahan emosional, kehilangan arah, dan merasa tidak mengendalikan hidupnya sendiri. Ironisnya, ia sering dipuji sebagai sosok baik hati, tidak pernah menolak, dan dapat diandalkan. Padahal, di balik itu semua, ia menyimpan kepanikan dan kelelahan yang mendalam.

Luka yang Tidak Dianggap Sebagai Luka

Karena kecemasan sosial dibungkus sebagai bagian dari kesopanan, banyak orang tidak menyadari bahwa mereka sedang terluka. Tidak ada luka fisik atau tangisan, hanya jantung yang berdetak kencang ketika ingin berbicara, tangan berkeringat dalam keramaian, atau pikiran yang terus menyalahkan diri sendiri setelah interaksi sosial biasa.

Lebih buruk lagi, saat seseorang mencoba mencari bantuan atau bercerita, respons yang sering diterima adalah:
"Kamu terlalu sensitif."
"Ah, itu biasa saja, semua orang juga begitu."
"Kamu harus lebih kuat."

Dengan kata lain, kecemasan mereka sering diremehkan, bahkan oleh keluarga dan sahabat dekat.

Saatnya Membedakan antara Sopan dan Tersiksa

Kita tidak perlu membuang budaya sopan santun yang kita miliki, tetapi penting untuk membuka ruang baru dalam budaya tersebut: ruang untuk mengenali dan mengakui mereka yang kesulitan berbicara bukan karena tidak sopan, melainkan karena cemas.

Kita perlu belajar bahwa menolak bukan berarti egois. Mengungkapkan pendapat tidak berarti tidak tahu diri. Meminta tolong bukan berarti manja.

Yang paling penting, kita harus sadar bahwa kecemasan sosial adalah kenyataan yang nyata, bukan sekadar karakter pemalu yang bisa diubah hanya dengan dorongan untuk "lebih percaya diri".

Kesimpulan

Kesehatan mental dan budaya tidak harus saling bertentangan. Justru, kita bisa mendefinisikan ulang sopan santun sebagai sikap yang menghormati orang lain tanpa mengorbankan diri sendiri.

Mungkin sudah saatnya mengajarkan generasi berikutnya bahwa berbicara dengan jujur adalah keberanian, menjaga diri sendiri adalah bentuk kesopanan, dan tidak semua diam berarti patuh. Bisa jadi itu adalah jeritan yang tak terdengar.

Topik