Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Berita oleh Muhammad Faishal pada Sabtu, 7 Jun 2025 pada 3:10 PTG

Ekspansi Tambang Nikel di Raja Ampat Ancaman Serius Bagi Ekosistem Laut

Pertumbuhan tambang nikel di Raja Ampat selama lima tahun terakhir tiga kali lipat, memicu sedimentasi merusak terumbu karang dan mengancam mata pencaharian nelayan serta pariwisata.

Raja Ampat, Papua Barat – Dalam lima tahun terakhir hingga 2024, kegiatan tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat meningkat tiga kali lipat, membuka lebih dari 494 hektare lahan baru untuk penambangan. Ekspansi ini dipicu oleh lonjakan permintaan global untuk stainless steel dan baterai kendaraan listrik, sekaligus menimbulkan risiko sedimentasi berat yang dapat merusak keanekaragaman hayati laut di kawasan segitiga terumbu karang dunia.

Penambangan dijalankan oleh PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang (Antam), yang sejak 2018 beroperasi di Pulau Gag dengan cadangan lebih dari 42 juta ton bijih nikel kering. Pada Oktober 2024, Antam mengakuisisi 30 persen saham smelter PT Jiu Long Metal Industry senilai lebih dari 100 juta dolar AS, langkah yang dikhawatirkan mempercepat aktivitas tambang di pulau yang sebagian wilayahnya masuk kawasan hutan lindung.

Aktivitas tambang memicu sedimentasi berat sepanjang garis pantai. Direktur Auriga Nusantara, Timer Manurung, memperingatkan bahwa lumpur hasil tambang terbawa arus laut menutupi terumbu karang hingga mematikan hidupan laut seperti penyu sisik dan pari manta yang rentan. Sedimentasi menyebabkan air menjadi keruh, menurunkan produktivitas terumbu karang, dan memaksa ikan berpindah habitat, yang secara langsung merugikan nelayan lokal.

Wali Kota Sorong, sebagai pintu gerbang pariwisata Raja Ampat, menyatakan bahwa penurunan kualitas air laut sudah dirasakan masyarakat sejak 2022. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah wisatawan di Raja Ampat meningkat tiga kali lipat dari 6.500 kunjungan pada 2022 menjadi hampir 20.000 pada 2023. Namun, dampak tambang mengancam keberlanjutan industri pariwisata yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat setempat.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan bahwa setiap izin tambang telah melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), namun aktivis menilai pengawasan masih lemah. Organisasi Konservasi Indonesia menyoroti bahwa terdapat izin tambang seluas total 22.420 hektare di Raja Ampat tanpa pembagian zona khusus konservasi laut dan darat yang memadai.

Komunitas adat setempat menuntut pencabutan sebagian izin tambang sampai studi lingkungan independen selesai. Mereka mengkhawatirkan bahwa kerusakan terumbu karang akan memangkas hasil tangkapan ikan, memicu pengangguran, dan memperdalam kemiskinan. 1Kami hidup dari laut sejak ratusan tahun lalu. Jika terumbu karang mati, kami kehilangan segalanya,2 kata salah satu kepala adat dari Pulau Arborek.

Para ahli kelautan mendesak penerapan teknologi tambang yang lebih ramah lingkungan, pembatasan luas area kerja maksimal 10 persen dari setiap pulau, dan pelaksanaan program pemulihan lahan pasca-tambang. Tanpa langkah tegas, Raja Ampat berisiko kehilangan status UNESCO Global Geopark yang diperoleh pada 2023, serta reputasinya sebagai salah satu destinasi selam terbaik di dunia.

Pemerintah daerah dijadwalkan akan menggelar rapat terbuka pada Juli 2025 untuk mengevaluasi seluruh izin tambang dan mendiskusikan peta zona konservasi yang baru. Pengambilan keputusan ini akan menjadi ujian integritas bagi regulasi lingkungan di Indonesia, yang dituntut untuk mampu menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan perlindungan ekosistem yang sangat unik.

Topik

Advertisement