Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Artikel oleh Mince Oktaviani pada Rabu, 25 Juni 2025 pukul 00.51

Gaya Hidup Islami atau Pencitraan? Mengungkap Tren Hijrah dan Konten Religius

Agama kini dikemas layaknya produk, iman jadi tren instan. Mari kembali pada kesederhanaan dan keikhlasan dalam beragama, bukan demi tampilan atau validasi sosial.

Gaya Hidup Islami atau Pencitraan? Mengungkap Tren Hijrah dan Konten Religius
Shopping cart with religious symbols by qalebstudio on freepik

Di era digital ini, segala sesuatu bisa dibeli. Bahkan yang dulunya bersifat sakral. Agama kini tak hanya menjadi jalan hidup, tapi juga produk yang dikemas menarik, diberi label spiritual, dan dijajakan di etalase media sosial. "Tuhan dalam keranjang belanja" bukan sekadar metafora. Ia adalah cerminan zaman, di mana iman sering kali kehilangan makna aslinya dan berubah menjadi gaya hidup konsumtif.

Iman yang Instan: Swipe, Klik, Beriman?

Tak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi memberikan banyak kemudahan, termasuk dalam urusan beragama. Aplikasi pengingat salat, podcast kajian, filter Islami di Instagram, hingga e-commerce yang menjual perlengkapan ibadah dengan desain estetik. Tapi pertanyaannya: apakah ini membantu kita lebih dekat kepada Allah, atau justru menjauh dalam balutan kemewahan dan pencitraan?

Spiritualitas kita perlahan beralih menjadi konten. Foto sajadah estetik dengan kutipan ayat Al-Qur’an, kopi pagi ditemani buku tafsir, dan video menangis saat mendengar ceramah viral. Tak salah memang, tapi mari bertanya jujur: untuk siapa semua ini? Untuk Allah, atau untuk validasi dan like dari manusia?

Beragama Demi Tampilan: Tren yang Mengkhawatirkan

Fenomena ini dikenal sebagai komodifikasi agama, di mana nilai-nilai spiritual dijual dan dikonsumsi sebagai bagian dari tren. Hijrah dijadikan hashtag, bukan proses panjang yang sakral. Baju syar’i dimaknai sekadar potongan kain panjang, bukan cerminan akhlak dan adab. Bahkan haji dan umrah kini tak lepas dari dokumentasi digital yang berlebihan.

Kita mulai terbiasa menilai keimanan seseorang dari apa yang tampak: pakaiannya, ucapannya, atau siapa ustaz yang ia follow. Padahal, esensi iman selalu tersembunyi di hati, yang hanya bisa dinilai oleh Tuhan.

Pasar Spiritual: Di Antara Niat dan Nafsu

Pasar memang punya cara untuk menjual apa pun, termasuk agama. Kita menyaksikan tumbuh suburnya ekonomi hijrah, produk Islami dijajakan oleh influencer berlabel hijrah, sering kali tanpa dasar keilmuan yang kuat. Kajian dikomersialisasi, doa dibisniskan dalam bentuk iklan, bahkan sedekah pun terkadang dilakukan demi konten dan impresi digital.

Masalahnya bukan pada berdagang atau memanfaatkan tren, tetapi pada niat. Jika niat utama bukan karena Allah, maka amal pun bisa jadi sia-sia. Seperti sabda Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Iman Adalah Proses, Bukan Produk

Keimanan bukanlah sesuatu yang bisa dibeli di marketplace, atau disusun dalam konten 60 detik. Ia adalah perjalanan panjang, jatuh-bangun, penuh ujian, dan refleksi batin yang dalam. Iman tidak dibungkus dalam kardus berwarna pastel, tapi tumbuh di hati yang terus menyucikan diri.

Iman bukanlah apa yang kita pamerkan, tapi apa yang kita sembunyikan. Ia lebih terasa dalam malam-malam penuh tangis yang hanya diketahui oleh Tuhan, dalam shalat yang kita jaga saat tak ada yang melihat, dan dalam niat-niat kecil yang kita benahi setiap hari.

Renungan: Apakah Kita Masih Tulus?

Artikel ini bukan untuk menghakimi. Justru sebagai bahan refleksi bersama. Kita hidup di zaman yang serba cepat. Di mana segala sesuatu ingin instan, termasuk rasa tenang dalam beragama. Padahal, ketenangan tidak datang dari tampilan luar, tapi dari kedalaman batin yang jujur mencari Tuhan.

Mungkin kita semua pernah atau sedang terjebak dalam pencitraan spiritual. Merasa bahagia karena dipuji sebagai orang shalih, merasa lebih baik karena tampilan Islami, padahal hati masih kosong. Maka saatnya kita bertanya:

Apakah aku beribadah karena cinta kepada Allah, atau karena takut kehilangan pengikut?
Apakah aku berhijrah karena ingin ridha-Nya, atau karena ingin dilihat keren di media sosial?

Pertanyaan ini berat, tapi penting.

Kembali pada Kesederhanaan Beragama

Agama Islam datang bukan untuk dirumitkan, apalagi diperdagangkan. Islam datang untuk menenangkan, menyucikan jiwa, dan menata kehidupan. Kembali kepada kesederhanaan beragama adalah jalan keluar dari spiritualitas yang tercemar.

Beragama tak perlu mewah. Rasulullah hidup sangat sederhana, tapi imannya luar biasa. Para sahabat tak pernah memburu estetika, tapi mereka menjadi kekasih Allah karena keikhlasannya. Maka jangan merasa kurang hanya karena tidak bisa tampil seperti influencer hijrah di TikTok.

Cukuplah kita menjaga wudhu, menahan amarah, membaca Al-Qur’an meski satu ayat, membantu sesama meski dengan senyuman. Mungkin justru amalan sederhana inilah yang lebih dicintai oleh Allah, daripada konten viral tanpa niat yang lurus.

Kesimpulan

Kita hidup di zaman ketika segala hal bisa dikemas dan dijual, termasuk Tuhan. Tapi Tuhan tidak bisa dibeli. Ia hadir dalam keheningan, dalam kesunyian malam, dalam doa yang tak terdengar, dan dalam hati yang terus mengingat-Nya meski tanpa suara.

Mari menjaga niat. Mari kembali memurnikan iman. Biarkan agama tetap menjadi jalan menuju Allah, bukan sekadar barang dagangan. Dan biarkan Tuhan tinggal dalam hati, bukan di keranjang belanja.

Penutup

The true worth of faith is seen not in displays or trends but in sincerity and steadfastness. May we all strive for authentic devotion—one that is humble, honest, and untouched by the marketplace of appearances.

Topik

Whatsapp Facebook Twitter Linkedin Pinterest Telegram

Kreator

Mince Oktaviani

Mince Oktaviani

Lihat Profil

Tanggapan (2)

Azizah Islami
Azizah Islami 5 hari yang lalu

Zaman sekarang, hal seperti ini sering terjadi. Membuat konten seolah sangat baik dan sholeh padahal aslinya berbeda, namun anehnya jarang yang membahas hal ini dan jarang yang ikhlas beribadah.

Muhammad Faishal
Muhammad Faishal
Member
5 hari yang lalu

Di tengah banjir konten Islami instan, analisis tentang komodifikasi agama ini menjadi pengingat pentingnya kembali pada niat dan keikhlasan. Semoga ke depan tren hijrah tidak sekadar soal outfit estetik atau filter Instagram tetapi juga memperdalam makna spiritual di hati setiap individu.

Lihat Semua Tanggapan