Pada 2025, adopsi kecerdasan buatan (AI) secara global telah menjangkau lebih dari 85% perusahaan, memengaruhi sekitar 40% lapangan kerja melalui otomatisasi maupun peran “agen cerdas.” Para pekerja administratif, sopir, hingga perekrut menjadi yang paling rentan, sementara organisasi menyiapkan program upskilling untuk merespons gelombang perubahan ini.
Sejak kuartal pertama 2025, laporan Technology and Innovation Report dari UNCTAD mencatat bahwa 40% profesi di negara maju dan berkembang terpapar risiko otomatisasi, terutama di sektor transportasi, logistik, dan layanan pelanggan. UNCTAD menekankan perlunya kebijakan proteksi sosial dan pelatihan ulang (reskilling) agar transisi tidak memperlebar kesenjangan ekonomi.
Perubahan ini berwujud nyata di kawasan Asia Pasifik, di mana 53% pemimpin bisnis telah mengintegrasikan “agen AI” untuk sepenuhnya mengotomasi proses internal. Studi Microsoft Work Trend Index April 2025 melaporkan bahwa 84% pemimpin APAC percaya AI dapat meningkatkan kapasitas kerja, sementara karyawan melihat AI lebih sebagai “rekan pemikir” daripada alat sederhana.
Sridhar Vembu, pendiri Zoho, berpendapat bahwa robot tidak akan membunuh lapangan kerja, melainkan dapat menggerus kelas menengah jika tidak diimbangi kebijakan fiskal dan sosial yang tepat. Menurut Vembu, pekerjaan yang mengandalkan kreativitas, empati, dan keahlian khusus — seperti seni, perawatan lansia, dan pertanian — akan tetap bertahan asalkan ada dukungan pemerintah.
Di ranah akademis, Associate Professor Giuseppe Carabetta dari University of Technology Sydney memperingatkan bahwa di Australia AI telah mengambil alih tugas administrasi untuk terapis, chatbot layanan pelanggan, dan sistem penjadwalan otomatis. Carabetta menyoroti dorongan biaya sebagai motivasi utama, bukan semata efisiensi.
World Economic Forum dalam Future of Jobs Report 2025 menegaskan bahwa 50% perusahaan berencana mengubah model bisnis dan 40% akan merelokasi atau mengurangi sebagian tenaga kerja, sementara 85% bersiap mengalokasikan anggaran besar untuk upskilling. Sektor energi terbarukan, teknologi hijau, dan analitik data diprediksi tumbuh pesat.
Untuk meredam dampak sosial, lembaga internasional merekomendasikan kebijakan perpajakan baru, skema jaminan penghasilan dasar, serta kemitraan publik-swasta dalam program pelatihan. Di Eropa, Komisi Eropa telah meluncurkan “Eu-AI Pact” untuk mendanai pelatihan AI bagi 10 juta pekerja hingga 2027. Sementara di Amerika Serikat, RUU “AI Workforce Upskilling Act” tengah dibahas di Kongres.
Meski tantangan besar, banyak pelaku industri optimistis. Mereka menilai AI sebagai katalis untuk menciptakan lapangan kerja baru di bidang riset, pengembangan, desain interaksi manusia-mesin, serta layanan berbasis AI. Keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada sinergi kebijakan, pendidikan, dan investasi berkelanjutan.
Tanggapan