Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Berita oleh Mince Oktaviani pada Selasa, 24 Juni 2025 pukul 01.32

Krisis Pengungsi di Papua Barat: 97 Ribu Warga Terlantar di Negeri Sendiri

Lebih dari 97 ribu warga Papua Barat mengungsi akibat konflik bersenjata. Krisis ini sunyi di media, namun nyata dan mendesak untuk mendapat perhatian nasional.

Krisis Pengungsi di Papua Barat: 97 Ribu Warga Terlantar di Negeri Sendiri
People of Papua on Freepik

Di tengah gegap gempita pembangunan dan narasi kemajuan yang kerap didengungkan pemerintah pusat, ada satu sisi Indonesia yang terabaikan, sunyi, dan berdarah dalam diam: Papua Barat. Hingga pertengahan tahun 2025, lebih dari 97 ribu warga terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka karena konflik bersenjata yang tak kunjung reda. Nama-nama seperti Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, dan Jayawijaya kini lebih sering terdengar dalam konteks pengungsian dan trauma, bukan kedamaian dan harapan.

Luka yang Tak Tampak di Peta Pembangunan


Ketika kita bicara tentang pengungsi, bayangan yang muncul biasanya adalah tenda-tenda darurat di wilayah konflik internasional. Tapi siapa sangka, Indonesia yang katanya damai ini, menyimpan luka dalam berupa krisis pengungsi internal di Papua Barat. Bukan karena bencana alam. Bukan karena perang antarnegara. Tapi karena konflik bersenjata yang merenggut rasa aman dari dalam negeri sendiri.

Sejak 2018, ketegangan antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) semakin memanas. Tapi di antara adu senjata itu, masyarakat sipil menjadi korban yang paling terluka, baik secara fisik maupun batin. Bayangkan, seorang anak harus berpindah-pindah hutan hanya untuk bertahan hidup, tanpa tahu kapan bisa kembali ke rumah. Seorang ibu harus tidur beralaskan tanah, memasak nasi dari beras bantuan yang kadang tak cukup, sambil menenangkan bayinya yang menangis karena kelaparan.

Menurut laporan terbaru Komnas HAM, desa-desa seperti Sinak dan Hitadipa kini nyaris kosong. Warga hidup berdesakan di tempat penampungan darurat, satu rumah bisa dihuni hingga tujuh keluarga. Makan hanya satu hingga dua kali sehari. Sekolah? Tidak ada. Fasilitas kesehatan? Nyaris tak tersentuh. Anak-anak kehilangan masa kecil mereka, dan orang tua kehilangan harapan.

Ketika Negara Terlambat Mendengar


Yang lebih menyakitkan lagi, adalah kenyataan bahwa isu ini nyaris tak mendapat perhatian publik nasional. Tidak viral di media sosial. Tidak menjadi headline media arus utama. Mungkin karena mereka jauh. Mungkin karena mereka “hanya” masyarakat adat di ujung timur. Tapi justru karena itu, mereka semakin membutuhkan kita.

Komnas HAM sudah angkat suara. Lembaga ini mendesak agar pemerintah segera mendeklarasikan status bencana sosial atas krisis pengungsian ini. Bukan sekadar simbolik, tapi agar ada langkah nyata dari BNPB, Kementerian Sosial, Kesehatan, Pendidikan, dan berbagai elemen negara lainnya untuk turun langsung, memberikan dukungan dan jaminan hidup yang layak bagi para pengungsi. Mereka tidak butuh simpati kosong. Mereka butuh kehadiran nyata.

Mengapa Ini Penting untuk Kita Semua


Pertanyaannya: mengapa kita, yang tinggal ribuan kilometer dari Papua, harus peduli?

Karena krisis ini bukan hanya soal wilayah. Tapi soal kemanusiaan. Soal bagaimana negara memperlakukan warganya sendiri. Soal bagaimana kita, sebagai satu bangsa, memilih untuk melihat atau membiarkan mereka tenggelam dalam ketidakpedulian.

Papua adalah bagian dari Indonesia. Bukan hanya dalam peta, tapi juga dalam darah dan sejarah. Maka ketika satu bagian dari bangsa ini menangis, kita tak boleh diam. Ketika 97 ribu saudara kita kehilangan tempat tinggal, maka kita semua kehilangan sebagian dari nurani kita.

Papua Barat hari ini bukan hanya menghadapi konflik, tapi juga menghadapi krisis keadilan. Warga sipil yang mengungsi bukan ingin menjadi beban, mereka hanya ingin hidup dengan tenang di tanah leluhurnya. Mereka tidak meminta kemewahan, hanya minta perlindungan dan pengakuan bahwa hidup mereka berarti.

Sebagai bangsa yang katanya berlandaskan Pancasila dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kita diingatkan kembali bahwa tidak ada pembangunan yang benar-benar berhasil jika ada wilayah yang tertinggal dalam luka.

Kini saatnya membuka mata dan telinga. Jangan biarkan cerita mereka hanya menjadi catatan kaki sejarah. Jangan tunggu sampai ribuan nyawa hilang baru kita mulai peduli. Sebab bangsa besar bukan diukur dari gedung pencakar langit atau jalan tol yang membelah hutan, tapi dari sejauh mana ia merangkul yang terpinggirkan.

Papua Barat menangis.
Akankah kita mendengarnya?

Topik