Di tengah riuhnya dunia digital, sebuah kisah pilu datang dari Caroline Koziol, seorang mantan atlet remaja asal Amerika Serikat. Ia tak pernah menyangka bahwa aplikasi yang awalnya ia gunakan untuk mencari inspirasi hidup sehat justru menjadi pintu masuk menuju kegelapan bernama anoreksia. Gadis ini, seperti jutaan remaja lain di seluruh dunia, terjebak dalam arus konten ekstrem soal diet, kebugaran, dan “body goals” yang tak masuk akal. Semua disajikan berulang oleh algoritma TikTok dan Instagram.
Caroline tidak sendiri. Ia kini menjadi bagian dari lebih 1.800 orang yang mengajukan gugatan hukum massal (MDL) terhadap perusahaan-perusahaan teknologi raksasa, termasuk Meta dan TikTok. Mereka menuduh bahwa sistem algoritma kedua platform ini secara sistematis memperburuk kondisi kesehatan mental, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Tak sedikit yang mengalami depresi, gangguan makan, bahkan bunuh diri. Semua berawal dari konsumsi konten yang terus-menerus ditekan masuk ke layar mereka.
Gugatan ini bukan hanya soal tanggung jawab hukum, tapi juga soal hak anak-anak atas ruang digital yang aman. Dan kasus Caroline menjadi simbol dari suara-suara yang selama ini tenggelam dalam gegap gempita teknologi.
Algoritma yang Tidak Netral: Ketika Sistem Cerdas Mendorong Remaja ke Jurang
Sistem rekomendasi di media sosial bekerja dengan cara yang nyaris tak terlihat. Ia belajar dari apa yang kita tonton, klik, sukai, atau bagikan. Lalu ia menyajikan lebih banyak konten serupa. Dalam dunia ideal, itu adalah bentuk kecerdasan buatan yang memudahkan pengguna. Tapi dalam kenyataannya, sistem ini bisa membentuk “ruang gema” atau echo chamber yang memperkuat kecenderungan buruk, termasuk obsesi terhadap tubuh kurus, diet ekstrem, atau standar kecantikan yang tidak realistis.
Caroline menjelaskan bahwa saat pandemi, ketika aktivitas di luar rumah dibatasi dan akses sosial menurun, ia banyak menghabiskan waktu di media sosial. Awalnya ia hanya ingin mencari tips hidup sehat. Namun algoritma mulai menyodorkan video demi video yang berisi konten ekstrem seperti tubuh sangat kurus, hitungan kalori ketat, tantangan puasa makan, dan sebagainya. Lama-lama, konten itu menjadi pusat pikirannya, hingga ia mengalami gangguan makan serius dan depresi.
Kasus ini membuka mata kita bahwa algoritma bukan hanya soal kenyamanan pengguna, tapi juga soal etika dan keselamatan. Apalagi ketika menyasar pengguna remaja yang secara psikologis masih rentan dan dalam proses pencarian jati diri.
Lebih dari Sekadar Gugatan: Ini tentang Generasi yang Terluka
Litigasi massal yang diajukan ini tidak berdiri sendiri. Data menunjukkan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, lonjakan gangguan mental di kalangan remaja meningkat tajam, seiring dengan tingginya konsumsi media sosial. Laporan CDC (Centers for Disease Control and Prevention) menunjukkan peningkatan signifikan pada angka depresi, kecemasan, dan ide bunuh diri pada remaja, terutama perempuan, setelah 2020.
Pertanyaannya, sejauh mana platform digital harus bertanggung jawab atas dampak algoritmanya? Selama ini, perusahaan teknologi sering berlindung di balik pernyataan “kami hanya menampilkan konten yang disukai pengguna”. Namun jika yang disukai adalah sesuatu yang destruktif, apakah mereka tidak punya peran untuk menghentikannya?
Gugatan ini menuntut lebih dari sekadar ganti rugi. Mereka ingin agar algoritma media sosial direstrukturisasi, diberi batasan terhadap konten berbahaya, dan platform diwajibkan memiliki sistem perlindungan khusus untuk pengguna di bawah usia dewasa. Ini adalah bentuk desakan agar dunia digital menjadi tempat yang tidak hanya adiktif, tapi juga aman dan berperikemanusiaan.
Kita Perlu Bicara: Peran Orang Tua, Sekolah, dan Regulasi
Fenomena ini juga mengajarkan kita bahwa kesehatan mental remaja bukan hanya urusan klinis, tapi juga urusan sosial dan struktural. Orang tua perlu memahami bahwa anak yang diam di kamar sambil scrolling bukan sekadar sedang “main hp”, tapi bisa jadi sedang mengalami paparan konten yang mempengaruhi psikologinya secara mendalam.
Sekolah juga memegang peran penting dalam memberikan edukasi literasi digital. Bukan sekadar cara menggunakan internet, tapi juga cara memilah informasi, mengenali konten berbahaya, dan membangun citra tubuh yang sehat. Pemerintah pun harus hadir dengan regulasi yang tegas terhadap platform digital, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Anak atau kontrol algoritma untuk konten sensitif.
Kasus ini adalah panggilan bagi kita semua bahwa sudah saatnya algoritma diuji, bukan hanya secara teknis, tapi juga secara moral. Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi paparan konten berbahaya, dan mulai menumbuhkan empati dalam setiap klik.
Karena dunia digital yang sehat bukan hanya tanggung jawab platform, tapi juga kita, para penggunanya.
Tanggapan (3)
Wah, keren kak. Aku dukung..
Wah, keren kak. Aku dukung..
Semangat, mince cantik.