Pernahkah kita bertanya mengapa peradaban Islam yang dulu memimpin dunia kini seolah tertinggal di belakang? Warisan ilmiah dan spiritual yang mengubah dunia kini hanya dikenang sebagai sejarah. Kemunduran peradaban Islam bukan sekadar wacana klise, melainkan kenyataan pahit yang menampar kesadaran umat, bahwa kita mungkin terlalu sibuk mengenang kejayaan lalu lupa membangunnya kembali.
Dari Pusat Dunia ke Pinggiran Peradaban
Abad ke-8 hingga ke-14 adalah masa keemasan Islam. Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, Andalusia bersinar dengan filsafat dan seni, dan ulama Muslim menulis kitab yang dibaca Eropa hingga ratusan tahun kemudian. Dunia mengenal tokoh seperti Ibnu Sina dalam kedokteran, Al-Khawarizmi dalam matematika, dan Al-Ghazali dalam filsafat serta spiritualitas.
Namun hari ini, pusat-pusat dunia telah bergeser. Harvard, Oxford, Tokyo, dan Seoul mendominasi inovasi dan pendidikan. Sementara banyak negara Muslim tercatat rendah dalam indeks pendidikan, kebebasan berpikir, dan kemakmuran. Kita terpinggirkan dalam arus globalisasi dan inovasi. Lalu, siapa yang harus disalahkan?
Bangga Masa Lalu, Lupa Masa Depan
Salah satu kesalahan terbesar umat Islam adalah terlalu membanggakan masa lalu. Kita sering mengutip kejayaan ilmuwan Muslim dan kerajaan besar seperti Turki Utsmani atau Khilafah Abbasiyah, namun gagal menciptakan prestasi baru yang bisa dibanggakan dunia.
Masa lalu bukan untuk dipuja, melainkan sebagai pijakan membangun masa depan. Jika kita hanya memajang sejarah di dinding tanpa menjadikannya bahan bakar peradaban baru, kita menukar kemuliaan dengan nostalgia semata.
Krisis Ilmu dan Intelektualitas
Nabi Muhammad SAW mengajarkan menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat. Namun kini banyak umat terjebak dalam dogmatisme tanpa berpikir kritis. Keilmuan dipersempit hanya sebagai hafalan. Diskusi berubah menjadi perdebatan dangkal. Kitab hanya dibaca untuk disalin bukan dipahami dan dikembangkan.
Lembaga pendidikan Islam banyak kehilangan semangat ijtihad—semangat untuk berpikir, menggali, dan menjawab tantangan zaman dengan ilmu. Kita sibuk melabeli hal baru haram atau halal tanpa mencari solusi progresif yang tetap sesuai syariat.
Politik Pecah Belah, Bukan Persatuan
Perpecahan umat juga menjadi penyebab kemunduran. Sunni–Syiah, modernis–tradisionalis saling curiga dan menuduh sesat. Padahal kejayaan Islam dahulu dibangun atas persatuan dan toleransi ilmiah. Ulama dari berbagai mazhab berdiskusi, berbeda pendapat tapi tetap saling menghormati.
Sekarang sebagian umat lebih sibuk saling menjatuhkan di media sosial ketimbang bersatu melawan kebodohan dan ketertinggalan. Kita berdebat soal sehelai jilbab, tapi membiarkan anak miskin gagal sekolah dan kehilangan akses pendidikan.
Spiritualitas yang Kosong Aksi
Shalat, puasa, zikir, dan haji sangat penting, tapi jika tanpa melahirkan perubahan sosial, apa gunanya? Kita kehilangan semangat revolusioner Islam: membela yang lemah, menegakkan keadilan, memberantas korupsi, dan memerdekakan manusia dari penindasan.
Peradaban Islam dulu besar karena akhlak dan keberpihakan pada nilai universal. Kini ibadah kita sering kali individualistik tanpa jiwa perubahan sosial. Kita menjadi umat yang saleh secara ritual tapi tumpul dalam aksi nyata.
Jadi, Salah Siapa?
Bukan salah Barat, Yahudi, Freemason, atau konspirasi global. Kita sendiri yang harus bercermin. Peradaban bukan diwariskan, tapi dibangun. Kita tidak akan bangkit hanya dengan menonton video sejarah atau memposting kutipan ulama. Dibutuhkan gerakan nyata dalam pendidikan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan spiritualitas yang membumi.
Harapan Itu Masih Ada
Kemunduran bukan akhir. Islam telah bangkit berkali-kali dari kehancuran dalam sejarahnya. Ia bangkit saat umatnya sadar, bergerak, dan kembali pada esensi Islam: ilmu, amal, dan akhlak. Kesempatan masih terbuka, tapi waktunya terbatas. Dunia terus berubah; jika kita diam, kita akan tertinggal jauh.
Mari berhenti hanya membanggakan masa lalu. Saatnya menjadi generasi yang mengukir sejarah masa depan.
Kesimpulan
Perubahan besar dimulai dari kesadaran individu—dari guru yang menanamkan semangat berpikir kritis, dari orang tua yang mendidik anak dengan akhlak dan cinta ilmu, dari pemuda yang berhenti mengeluh dan mulai bergerak. Setiap kita bagian dari peradaban. Jika ingin Islam bangkit, mari kita bangun bersama.
Respon