Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Cerita oleh Henny Kristina pada Jumaat, 13 Jun 2025 pada 4:29 PTG

Jejak Awal Bertemu Suku Anak Dalam di Jambi 1983

Kisah nyata penuh makna tentang perjumpaan pertama dengan Suku Anak Dalam di hutan Jambi—budaya dan perjuangan mereka.

Perpisahan Dengan Teman Sekolah Dasar

Mungkin ini sudah takdir dari Allah, ketika aku mengikuti orang tuaku pindah ke daerah transmigrasi di Bangko, Jambi. Awalnya aku enggan ikut, membayangkan kehidupan nyaman di kota pegunungan Boyolali. Terlebih aku baru lulus SD dan sudah diterima di SMPN 1 Boyolali.

Satu hari sebelum acara perpisahan yang mengundang orang tua untuk menonton pentas seni, aku masih gelisah karena ibu, adik paling bungsu, dan bapak sudah berangkat sebulan sebelumnya. Aku dan kakak-kakakku tinggal di asrama tentara di belakang Kantor Pengadilan, bangunan bergaya Belanda yang luas dan hanya ditempati keluargaku. Pikiranku kacau, sedih tanpa kabar kapan ibu dan bapak akan menjemputku, apalagi surat-menyurat kala itu sangat lambat.

Tiba-tiba nenek memanggil namaku, ibu datang dari Bangko sambil menggendong adik bungsuku yang berusia dua tahun. Aku campur sedih dan bahagia karena doa terkabul bahwa ibu bisa hadir. Bapak belum bisa datang, katanya akan menjemputku nanti. Saat diumumkan peringkat, aku disebut peringkat tiga — sebuah kebanggaan di tengah teman-teman yang pintar.

Perpisahan Dengan Teman SMP

Setelah SD, aku masuk SMPN 1 Boyolali yang sangat selektif dan favorit. Aku mendaftar sendiri karena orang tua masih di Bangko. Keadaan memaksaku mandiri, selain didikan bapak yang disiplin militer, mengajarkan anak-anaknya tak boleh cengeng dan harus mandiri.

Baru tiga bulan sekolah, aku harus pindah ke transmigrasi. Banyak menganggap transmigrasi itu tanda kemiskinan, tapi bapakku berbeda; dia menginginkan masa depan yang lebih baik demi anak-anaknya. Dengan enam anak dan gaji TNI yang terbatas menjelang pensiun, bapak ditunjuk sebagai kepala rombongan transmigrasi Kodam Diponegoro.

Aku masih menunggu jemputan bapak sambil belajar. Suatu hari wali kelas memanggil karena bapak datang mengurus surat pindah. Aku sedih kecewa, harus pindah bersama ketiga kakakku, ke tempat baru yang panas, teman yang belum kukenal, dan fasilitas yang jauh dari kota.

Perjalanan Panjang dan Melelahkan

Ibu sibuk mengemas barang. Bayangkan pindah membawa empat anak kecil, sedangkan kakakku dua lainnya harus menyelesaikan sekolah di Boyolali. Perjalanan menuju Bangko memakan waktu tiga hari dua malam, melewati jalan rusak dan berlubang. Bus tanpa AC membuat perjalanan terasa melelahkan dan aku mabuk perjalanan lewat daerah berbahaya seperti Lahat yang dikenal dengan "Bajing Loncat", penjahat jalanan yang suka menjarah penumpang.

Sampai di Margoyoso Bangko Jambi

Setibanya di terminal bus ALS Margoyoso, perjalanan belum selesai. Kami harus melanjutkan sekitar dua jam lagi ke area transmigrasi dengan mobil pick up terbuka. Itu pengalaman pertamaku naik kendaraan seperti itu, masih dengan wajah capek dan ngantuk.

Pertama Kali Bertemu Suku Anak Dalam

Di Margoyoso, aku bertemu Suku Kubu untuk pertama kalinya dengan rasa kaget dan takut. Mereka masih primitif; perempuan hanya memakai kemben dan sarung, laki-laki hanya memakai sepotong kain. Sebelumnya aku hanya membaca tentang suku-suku terkenal di buku pelajaran. Melihat mereka secara langsung sangat mengesankan.

Mereka mendekati kami meminta uang, membawa tombak, parang, dan panah. Bapak penasaran kenapa mereka ngumpul di pangkalan bus. Kata agen bus, ada Suku Kubu yang tertabrak bus sehingga mereka berunjuk rasa. Kelompok itu tampak mengerikan bagi anak kota seperti aku.

Hidup di Daerah Transmigrasi

Setelah perjalanan sekitar dua jam, aku sampai di rumah sederhana dari pemerintah: beratap seng, dinding papan, dan lantai tanah. Ibu dan bapak mencoba menenangkan aku yang menangis dan kecewa. Hidup di sana tanpa listrik, hanya memakai lampu tempel dan petromax di malam hari. Pasar dan sekolah pun belum tersedia, benar-benar terpencil.

Ditolak Sekolah dan Bapakku Mendirikan Sekolah

Bapakku diangkat kepala desa memimpin sekitar 600 kepala keluarga. Gedung sekolah sudah ada, termasuk aula dan lapangan bola basket. Namun SMP belum buka karena minim pengajar.

Setelah seminggu, bapak mendaftarkan aku dan mbakku ke SMP di Rantau Panjang. Anehnya kami ditolak. Aku sedih, hampir depresi karena harus menganggur sebulan tanpa sekolah. Sekolah di Rantau Panjang terlalu jauh dan mahal harus kos. Bapak sangat gigih, tidak menginginkan putus sekolah bagi anaknya dan warganya, banyak yang sudah menikah muda.

Bantuan Pemerintah untuk Sekolah SMP

Bapakku mengajukan permohonan untuk mendirikan sekolah sendiri. Pemerintah memberikan bantuan berupa satu truk penuh alat seni tradisional, buku pelajaran, dan perlengkapan olahraga. Guru sementara diambil sukarela dari teman bapakku dan saudara yang berpendidikan dari Jawa.

Kunjungan ke Perkampungan Suku Anak Dalam di Bukit 12

Lambat laun aku mulai menerima kondisi, meski terbatas fasilitas. Kami berjalan kaki satu kilometer ke sekolah, melewati sungai dan rawa sehingga kami terkadang berenang bersama teman sambil berbusana seragam SMP. Sebuah kenangan tak terlupakan.

Suatu saat ada kunjungan gubernur ke Bukit 12, perkampungan Suku Kubu. Kami diundang naik truk bak terbuka selama dua jam melewati jalan sulit. Meski duduk di belakang di atas terpal, aku sangat antusias melihat langsung rumah panggung dan kehidupan Suku Anak Dalam.

Bukit 12: Perkampungan Suku Anak Dalam

Bukit 12 di perbatasan Sarolangun dan Tebo merupakan kawasan cagar alam dengan pemandangan indah. Suku Anak Dalam hidup berpindah-pindah dan memiliki aturan ketat, seperti larangan meludah saat bertemu mereka demi menghindari mengikuti suku saat berpindah.

Awalnya aku takut dan kaget, namun lambat laun terbiasa. Bapak mengajarkan apa saja larangan saat bertemu mereka. Mereka menganggap pendatang sebagai penjajah, namun kehidupan mereka penuh kebijaksanaan dan penghormatan adat.

Kunjungan Gubernur dengan Helikopter

Gubernur datang dengan helikopter dan meminta Suku Anak Dalam berkumpul, tapi mereka lebih meminta rokok terlebih dahulu. Mereka tampak takjub saat menyentuh helikopter yang terbang, hal yang sebelumnya belum pernah mereka lihat.

Diskusi tentang cara mendampingi dan membimbing suku ini terus berjalan, meski mereka tetap bertahan dengan cara hidup tradisional seperti berburu dan menangkap ikan. Bila ada anggota yang sakit, suku tersebut pindah tempat tanpa penanganan medis modern. Mereka hidup berpindah dan memiliki kelompok sendiri dengan aturan pernikahan yang bebas.

Di balik keterbatasan mereka, ada keajaiban alami, seperti kemampuan melahirkan mandiri dan pengobatan tradisional saat nifas tanpa medis. Setelah acara selesai, kami pulang sambil membawa durian murah yang sedang musim di sekitar Bukit 12.

Kepala Suku Anak Dalam Berkunjung ke Rumahku

Bersama teman, aku sering membicarakan Suku Anak Dalam dan penasaran dengan sosok kepala suku. Suatu malam, bapakku dijemput oleh pria tinggi besar bertelanjang dada dan memakai kalung berbentuk taring, membawa tongkat; beliau adalah pemimpin suku dan memanggil bapakku "Pasirah" atau pemimpin.

Kepemimpinan mereka berjiwa sosial tinggi, berani membela warganya meskipun kebal hukum. Mereka tidak akan menyerang jika tidak disakiti duluan tapi akan melawan jika ada yang tertindas, walau berbahaya.

Perubahan yang Mulai Terlihat

Seiring waktu, desa kami mulai maju. Hutan lebat kini mulai ada perusahaan yang mengontrak ladang kami untuk kebun sawit. Hal ini berdampak pada Suku Anak Dalam yang awalnya takut akan ancaman penjajahan hutan. Namun ada sisi positif; mereka mulai mengenal beras, alat masak, dan bumbu dapur, bahkan terlihat memasak nasi menggunakan panci sejak 1990-an. Beberapa mulai berbusana layaknya warga biasa, meski beberapa tetap mempertahankan penutup aurat tradisional.

Suku Anak Dalam di Tahun 2000-an

Dengan perkembangan zaman, Suku Anak Dalam mulai dikenalkan wajib baca tulis oleh LSM dan pemerintah, walaupun masih rendah persentasenya. Teknologi mulai mereka nikmati. Pada kunjunganku sekitar 2006, mereka sudah banyak mengenakan pakaian masa kini dan bahkan berdandan. Anak-anak muda Suku Anak Dalam sering kugodai bercanda tentang makeup dan perawatan rambut, yang membuat mereka tertawa riang.

Mereka mulai memiliki penghasilan dari menjual babi hutan dan bahkan membeli emas di pasar.

Persiapan Lebaran dan Tradisi Membungkus Kue

Di kampungku, saat Lebaran banyak yang berkunjung dan sebagian Suku Anak Dalam juga datang membawa permintaan khas; mereka mayoritas tidak menyukai makanan berbahan telur. Maka kami memberikan kue-kue tanpa bahan telur. Aku tak tahu apakah mereka memahami makna Lebaran, namun itu menjadi bentuk toleransi kami.

Saat ini, sudah banyak Suku Anak Dalam yang lebih modern, ada yang bersekolah, menjadi TNI, pengusaha kebun sawit, bahkan ternak ikan lele.

Desaku pun makin maju dengan sekolah dari SD hingga SMK berkat usaha bapakku. Kini anak-anak di daerah kami banyak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena perekonomian membaik dengan adanya perkebunan kelapa sawit.

Hikmah Tinggal di Hutan dan Bertemu Suku Anak Dalam

Awalnya aku sering diejek teman SMA dengan julukan "Anak Transmigrasi" tapi kami mampu bersaing dalam akademik. Lulus SMP tahun 1986, bapakku mulai merintis SMA swasta yang akhirnya aku masuk SMAN 1 Bangko melalui seleksi nilai NEM, meski harus tinggal kos jauh dari rumah.

Bapak mendapat penghargaan "Kepala Desa Teladan" mewakili Jambi dan bertemu presiden di Jakarta atas jasanya. Kami tinggal di daerah terpencil, tapi semangat tidak pernah padam. Anak-anak bapak pun lanjut hingga ke perguruan tinggi, dan putraku seorang anak transmigrasi berhasil masuk AKABRI.

Bapak wafat tahun 2011, perjuangan dilanjutkan kakak perempuanku sebagai guru dan yang lain aktif memajukan koperasi yang pernah juara kedua lomba koperasi terbaik se-Indonesia.

Perpisahan Dengan Teman Sekolah Dasar

Mungkin ini sudah takdir dari Allah, ketika aku mengikuti orang tuaku pindah ke daerah transmigrasi di Bangko, Jambi. Awalnya aku enggan ikut, membayangkan kehidupan nyaman di kota pegunungan Boyolali. Terlebih aku baru lulus SD dan sudah diterima di SMPN 1 Boyolali.

Satu hari sebelum acara perpisahan yang mengundang orang tua untuk menonton pentas seni, aku masih gelisah karena ibu, adik paling bungsu, dan bapak sudah berangkat sebulan sebelumnya. Aku dan kakak-kakakku tinggal di asrama tentara di belakang Kantor Pengadilan, bangunan bergaya Belanda yang luas dan hanya ditempati keluargaku. Pikiranku kacau, sedih tanpa kabar kapan ibu dan bapak akan menjemputku, apalagi surat-menyurat kala itu sangat lambat.

Tiba-tiba nenek memanggil namaku, ibu datang dari Bangko sambil menggendong adik bungsuku yang berusia dua tahun. Aku campur sedih dan bahagia karena doa terkabul bahwa ibu bisa hadir. Bapak belum bisa datang, katanya akan menjemputku nanti. Saat diumumkan peringkat, aku disebut peringkat tiga — sebuah kebanggaan di tengah teman-teman yang pintar.

Perpisahan Dengan Teman SMP

Setelah SD, aku masuk SMPN 1 Boyolali yang sangat selektif dan favorit. Aku mendaftar sendiri karena orang tua masih di Bangko. Keadaan memaksaku mandiri, selain didikan bapak yang disiplin militer, mengajarkan anak-anaknya tak boleh cengeng dan harus mandiri.

Baru tiga bulan sekolah, aku harus pindah ke transmigrasi. Banyak menganggap transmigrasi itu tanda kemiskinan, tapi bapakku berbeda; dia menginginkan masa depan yang lebih baik demi anak-anaknya. Dengan enam anak dan gaji TNI yang terbatas menjelang pensiun, bapak ditunjuk sebagai kepala rombongan transmigrasi Kodam Diponegoro.

Aku masih menunggu jemputan bapak sambil belajar. Suatu hari wali kelas memanggil karena bapak datang mengurus surat pindah. Aku sedih kecewa, harus pindah bersama ketiga kakakku, ke tempat baru yang panas, teman yang belum kukenal, dan fasilitas yang jauh dari kota.

Perjalanan Panjang dan Melelahkan

Ibu sibuk mengemas barang. Bayangkan pindah membawa empat anak kecil, sedangkan kakakku dua lainnya harus menyelesaikan sekolah di Boyolali. Perjalanan menuju Bangko memakan waktu tiga hari dua malam, melewati jalan rusak dan berlubang. Bus tanpa AC membuat perjalanan terasa melelahkan dan aku mabuk perjalanan lewat daerah berbahaya seperti Lahat yang dikenal dengan "Bajing Loncat", penjahat jalanan yang suka menjarah penumpang.

Sampai di Margoyoso Bangko Jambi

Setibanya di terminal bus ALS Margoyoso, perjalanan belum selesai. Kami harus melanjutkan sekitar dua jam lagi ke area transmigrasi dengan mobil pick up terbuka. Itu pengalaman pertamaku naik kendaraan seperti itu, masih dengan wajah capek dan ngantuk.

Pertama Kali Bertemu Suku Anak Dalam

Di Margoyoso, aku bertemu Suku Kubu untuk pertama kalinya dengan rasa kaget dan takut. Mereka masih primitif; perempuan hanya memakai kemben dan sarung, laki-laki hanya memakai sepotong kain. Sebelumnya aku hanya membaca tentang suku-suku terkenal di buku pelajaran. Melihat mereka secara langsung sangat mengesankan.

Mereka mendekati kami meminta uang, membawa tombak, parang, dan panah. Bapak penasaran kenapa mereka ngumpul di pangkalan bus. Kata agen bus, ada Suku Kubu yang tertabrak bus sehingga mereka berunjuk rasa. Kelompok itu tampak mengerikan bagi anak kota seperti aku.

Hidup di Daerah Transmigrasi

Setelah perjalanan sekitar dua jam, aku sampai di rumah sederhana dari pemerintah: beratap seng, dinding papan, dan lantai tanah. Ibu dan bapak mencoba menenangkan aku yang menangis dan kecewa. Hidup di sana tanpa listrik, hanya memakai lampu tempel dan petromax di malam hari. Pasar dan sekolah pun belum tersedia, benar-benar terpencil.

Ditolak Sekolah dan Bapakku Mendirikan Sekolah

Bapakku diangkat kepala desa memimpin sekitar 600 kepala keluarga. Gedung sekolah sudah ada, termasuk aula dan lapangan bola basket. Namun SMP belum buka karena minim pengajar.

Setelah seminggu, bapak mendaftarkan aku dan mbakku ke SMP di Rantau Panjang. Anehnya kami ditolak. Aku sedih, hampir depresi karena harus menganggur sebulan tanpa sekolah. Sekolah di Rantau Panjang terlalu jauh dan mahal harus kos. Bapak sangat gigih, tidak menginginkan putus sekolah bagi anaknya dan warganya, banyak yang sudah menikah muda.

Bantuan Pemerintah untuk Sekolah SMP

Bapakku mengajukan permohonan untuk mendirikan sekolah sendiri. Pemerintah memberikan bantuan berupa satu truk penuh alat seni tradisional, buku pelajaran, dan perlengkapan olahraga. Guru sementara diambil sukarela dari teman bapakku dan saudara yang berpendidikan dari Jawa.

Kunjungan ke Perkampungan Suku Anak Dalam di Bukit 12

Lambat laun aku mulai menerima kondisi, meski terbatas fasilitas. Kami berjalan kaki satu kilometer ke sekolah, melewati sungai dan rawa sehingga kami terkadang berenang bersama teman sambil berbusana seragam SMP. Sebuah kenangan tak terlupakan.

Suatu saat ada kunjungan gubernur ke Bukit 12, perkampungan Suku Kubu. Kami diundang naik truk bak terbuka selama dua jam melewati jalan sulit. Meski duduk di belakang di atas terpal, aku sangat antusias melihat langsung rumah panggung dan kehidupan Suku Anak Dalam.

Bukit 12: Perkampungan Suku Anak Dalam

Bukit 12 di perbatasan Sarolangun dan Tebo merupakan kawasan cagar alam dengan pemandangan indah. Suku Anak Dalam hidup berpindah-pindah dan memiliki aturan ketat, seperti larangan meludah saat bertemu mereka demi menghindari mengikuti suku saat berpindah.

Awalnya aku takut dan kaget, namun lambat laun terbiasa. Bapak mengajarkan apa saja larangan saat bertemu mereka. Mereka menganggap pendatang sebagai penjajah, namun kehidupan mereka penuh kebijaksanaan dan penghormatan adat.

Kunjungan Gubernur dengan Helikopter

Gubernur datang dengan helikopter dan meminta Suku Anak Dalam berkumpul, tapi mereka lebih meminta rokok terlebih dahulu. Mereka tampak takjub saat menyentuh helikopter yang terbang, hal yang sebelumnya belum pernah mereka lihat.

Diskusi tentang cara mendampingi dan membimbing suku ini terus berjalan, meski mereka tetap bertahan dengan cara hidup tradisional seperti berburu dan menangkap ikan. Bila ada anggota yang sakit, suku tersebut pindah tempat tanpa penanganan medis modern. Mereka hidup berpindah dan memiliki kelompok sendiri dengan aturan pernikahan yang bebas.

Di balik keterbatasan mereka, ada keajaiban alami, seperti kemampuan melahirkan mandiri dan pengobatan tradisional saat nifas tanpa medis. Setelah acara selesai, kami pulang sambil membawa durian murah yang sedang musim di sekitar Bukit 12.

Kepala Suku Anak Dalam Berkunjung ke Rumahku

Bersama teman, aku sering membicarakan Suku Anak Dalam dan penasaran dengan sosok kepala suku. Suatu malam, bapakku dijemput oleh pria tinggi besar bertelanjang dada dan memakai kalung berbentuk taring, membawa tongkat; beliau adalah pemimpin suku dan memanggil bapakku "Pasirah" atau pemimpin.

Kepemimpinan mereka berjiwa sosial tinggi, berani membela warganya meskipun kebal hukum. Mereka tidak akan menyerang jika tidak disakiti duluan tapi akan melawan jika ada yang tertindas, walau berbahaya.

Perubahan yang Mulai Terlihat

Seiring waktu, desa kami mulai maju. Hutan lebat kini mulai ada perusahaan yang mengontrak ladang kami untuk kebun sawit. Hal ini berdampak pada Suku Anak Dalam yang awalnya takut akan ancaman penjajahan hutan. Namun ada sisi positif; mereka mulai mengenal beras, alat masak, dan bumbu dapur, bahkan terlihat memasak nasi menggunakan panci sejak 1990-an. Beberapa mulai berbusana layaknya warga biasa, meski beberapa tetap mempertahankan penutup aurat tradisional.

Suku Anak Dalam di Tahun 2000-an

Dengan perkembangan zaman, Suku Anak Dalam mulai dikenalkan wajib baca tulis oleh LSM dan pemerintah, walaupun masih rendah persentasenya. Teknologi mulai mereka nikmati. Pada kunjunganku sekitar 2006, mereka sudah banyak mengenakan pakaian masa kini dan bahkan berdandan. Anak-anak muda Suku Anak Dalam sering kugodai bercanda tentang makeup dan perawatan rambut, yang membuat mereka tertawa riang.

Mereka mulai memiliki penghasilan dari menjual babi hutan dan bahkan membeli emas di pasar.

Persiapan Lebaran dan Tradisi Membungkus Kue

Di kampungku, saat Lebaran banyak yang berkunjung dan sebagian Suku Anak Dalam juga datang membawa permintaan khas; mereka mayoritas tidak menyukai makanan berbahan telur. Maka kami memberikan kue-kue tanpa bahan telur. Aku tak tahu apakah mereka memahami makna Lebaran, namun itu menjadi bentuk toleransi kami.

Saat ini, sudah banyak Suku Anak Dalam yang lebih modern, ada yang bersekolah, menjadi TNI, pengusaha kebun sawit, bahkan ternak ikan lele.

Desaku pun makin maju dengan sekolah dari SD hingga SMK berkat usaha bapakku. Kini anak-anak di daerah kami banyak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena perekonomian membaik dengan adanya perkebunan kelapa sawit.

Hikmah Tinggal di Hutan dan Bertemu Suku Anak Dalam

Awalnya aku sering diejek teman SMA dengan julukan "Anak Transmigrasi" tapi kami mampu bersaing dalam akademik. Lulus SMP tahun 1986, bapakku mulai merintis SMA swasta yang akhirnya aku masuk SMAN 1 Bangko melalui seleksi nilai NEM, meski harus tinggal kos jauh dari rumah.

Bapak mendapat penghargaan "Kepala Desa Teladan" mewakili Jambi dan bertemu presiden di Jakarta atas jasanya. Kami tinggal di daerah terpencil, tapi semangat tidak pernah padam. Anak-anak bapak pun lanjut hingga ke perguruan tinggi, dan putraku seorang anak transmigrasi berhasil masuk AKABRI.

Bapak wafat tahun 2011, perjuangan dilanjutkan kakak perempuanku sebagai guru dan yang lain aktif memajukan koperasi yang pernah juara kedua lomba koperasi terbaik se-Indonesia.

Kesimpulan

Log masuk untuk membuka bahagian ini.
Akses penuh kandungan ini hanya untuk pengguna berdaftar.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur. Excepteur sint occaecat cupidatat non proident, sunt in culpa qui officia deserunt mollit anim id est laborum.

Penutup

Terima kasih kepada Suku Anak Dalam yang memberikan motivasi saat aku hampir putus asa hidup di hutan terpencil. Kalian tetap bersyukur atas takdir Allah sebagai Suku Anak Dalam, dan kami berkomitmen melestarikan agar populasi kalian tetap terjaga. Kepada pembaca, mari kita doakan agar Suku Anak Dalam bisa beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati diri. Mohon maaf jika ada kata atau bahasa yang kurang berkenan.

Wasalam, penulis.

Topik

Henny Kristina

Henny Kristina

Penulis novel

Lihat Profil

Respon