Logo Makna Media
Makna Media
Tema
Artikel oleh Mince Oktaviani pada Sabtu, 05 Juli 2025 pukul 02.50

Kemunduran Peradaban Islam: Apakah Umat Hanya Bangga Pada Masa Lalu?

Peradaban Islam pernah memimpin dunia, tapi kini tertinggal. Bukan karena musuh luar, tapi karena umat lupa membangun masa depan. Saatnya sadar dan bangkit bersama.

Kemunduran Peradaban Islam: Apakah Umat Hanya Bangga Pada Masa Lalu?
The glory of Islamic civilization symbolized by magnificent mosques by Mustafa Mahmoud on unsplash

Pernahkah kita bertanya, mengapa peradaban Islam yang dahulu memimpin dunia kini seolah tertinggal di belakang? Mengapa warisan ilmiah dan spiritual yang pernah mengubah wajah dunia kini hanya dikenang sebagai catatan sejarah? Kemunduran peradaban Islam bukan sekadar wacana klise. Ia adalah kenyataan pahit yang menampar kesadaran umat bahwa kita mungkin terlalu sibuk mengenang kejayaan, namun lupa membangunnya kembali.

Dari Pusat Dunia ke Pinggiran Peradaban

Abad ke-8 hingga ke-14 adalah masa keemasan Islam. Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, Andalusia bersinar dengan filsafat dan seni, dan ulama-ulama Muslim menulis kitab-kitab yang dibaca Eropa hingga ratusan tahun kemudian. Dunia mengenal Ibnu Sina dalam kedokteran, Al-Khawarizmi dalam matematika, dan Al-Ghazali dalam filsafat dan spiritualitas.

Namun hari ini, pusat-pusat dunia berubah. Harvard, Oxford, Tokyo, dan Seoul mendominasi. Sementara sebagian besar negara Muslim justru tercatat dalam daftar negara dengan indeks pendidikan, kebebasan berpikir, dan kemakmuran yang rendah. Kita terpinggirkan dalam arus globalisasi dan inovasi. Lalu, siapa yang patut disalahkan?

Bangga Masa Lalu, Lupa Masa Depan

Salah satu kesalahan terbesar umat Islam hari ini adalah kecenderungan untuk terlalu membanggakan masa lalu. Kita mengutip kejayaan ilmuwan Muslim, menyebut kejayaan Turki Utsmani atau Khilafah Abbasiyah, namun tak mampu menciptakan prestasi baru yang bisa dibanggakan dunia.

Masa lalu bukan untuk dipuja, tapi untuk dijadikan pijakan membangun masa depan. Jika kita hanya memajang sejarah di dinding, tanpa menjadikannya bahan bakar peradaban baru, maka kita sedang menukar kemuliaan dengan nostalgia.

Krisis Ilmu dan Intelektualitas

Nabi Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk menuntut ilmu sejak buaian hingga liang lahat. Tapi hari ini, banyak umat Islam justru terjebak dalam dogmatisme tanpa berpikir kritis. Keilmuan dikerdilkan menjadi hafalan semata. Diskusi berubah jadi perdebatan dangkal. Kitab dibaca hanya untuk disalin, bukan untuk dipahami dan dikembangkan.

Lembaga pendidikan Islam banyak yang kehilangan semangat ijtihad. Semangat untuk berpikir, menggali, dan menjawab tantangan zaman dengan ilmu. Kita terlalu sibuk melabeli haram atau halal pada hal-hal baru, tanpa mencari solusi kreatif yang sesuai syariat namun tetap progresif.

Politik Pecah Belah, Bukan Persatuan

Perpecahan umat juga menjadi penyebab kemunduran yang nyata. Sunni-Syiah, modernis-tradisionalis, saling curiga dan menuduh sesat. Padahal, sejarah mencatat bahwa kejayaan Islam dibangun dari semangat persatuan dan toleransi ilmiah. Ulama dari berbagai mazhab dulu berdiskusi, berbeda pendapat, namun tetap menghormati dan belajar satu sama lain.

Kini, sebagian umat lebih memilih saling menjatuhkan di media sosial ketimbang bersatu melawan kebodohan dan ketertinggalan. Kita sibuk berdebat soal sehelai jilbab, tapi membiarkan anak-anak miskin putus sekolah dan tak punya akses belajar.

Spiritualitas yang Kosong Aksi

Shalat lima waktu, puasa, zikir, dan haji, semuanya penting. Tapi jika spiritualitas tidak melahirkan perubahan sosial, lalu apa gunanya? Kita kehilangan semangat Islam yang sejatinya revolusioner: membela yang lemah, menegakkan keadilan, memberantas korupsi, dan memerdekakan manusia dari segala bentuk penindasan.

Peradaban Islam dahulu besar karena akhlak dan keberpihakan pada nilai-nilai universal. Hari ini, ibadah kita seringkali individualistik, tanpa ada ruh perubahan sosial di dalamnya. Kita menjadi umat yang saleh secara ritual, tapi tumpul dalam aksi.

Jadi, Salah Siapa?

Bukan salah Barat. Bukan pula salah Yahudi, Freemason, atau konspirasi global. Kita sendirilah yang harus bercermin. Peradaban bukan diwarisi, tapi dibangun. Kita tidak akan bangkit hanya dengan menonton video sejarah atau memposting kutipan ulama besar. Kita butuh gerakan nyata dalam pendidikan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan spiritualitas yang membumi.

Harapan Itu Masih Ada

Kemunduran bukan akhir. Islam telah bangkit dari kehancuran berkali-kali dalam sejarahnya. Tapi ia hanya bangkit saat umatnya sadar, bergerak, dan kembali pada esensi Islam: ilmu, amal, dan akhlak. Kita masih punya kesempatan. Tapi waktunya tidak banyak. Dunia terus berubah, dan jika kita tetap diam, maka kita benar-benar akan ditinggal zaman.

Mari kita berhenti sekadar membanggakan masa lalu. Saatnya menjadi generasi yang ditulis dalam sejarah masa depan.

Kesimpulan

Perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran individu. Dari guru yang kembali menanamkan semangat berpikir kritis, dari orang tua yang mendidik anaknya dengan akhlak dan cinta ilmu, dari pemuda yang berhenti mengeluh dan mulai bergerak. Setiap dari kita adalah bagian dari peradaban. Maka, jika ingin Islam bangkit, kita pun harus ikut bangun.

Topik