Di tengah gencarnya kampanye kesehatan mental, isu kesehatan mental pria masih sering terabaikan. Padahal, pria sama seperti manusia lain yang memiliki emosi, luka batin, dan trauma yang nyata. Sayangnya, banyak pria memilih untuk bungkam karena takut dianggap lemah. Lebih buruk lagi, saat ada yang berani bersuara, tidak sedikit yang justru meragukan kesaksiannya.
Di Indonesia, stigma mengenai kesehatan mental pria sudah sangat mengakar. Pria dituntut untuk selalu kuat, tidak boleh menangis apalagi mengeluh. Ketika seorang pria mengaku sebagai korban pelecehan seksual di media sosial, alih-alih mendapat empati, ia justru dihujat dan dituduh menikmati kejadian tersebut. Ini adalah gambaran nyata bagaimana maskulinitas toksik masih membungkam suara-suara luka yang ingin disembuhkan.
Stigma yang Membungkam: “Pria Harus Kuat”
Sejak kecil, anak laki-laki sering dididik untuk tahan banting. Saat mereka menangis, mereka disebut cengeng. Saat terluka, mereka diminta diam. Semua ini menanamkan pesan tidak langsung bahwa emosi bukan milik pria. Maka, ketika tumbuh dewasa, mereka merasa bersalah jika merasa sedih, takut, atau hancur secara emosional.
Akibatnya, banyak pria memendam perasaannya. Mereka enggan mencari bantuan saat menghadapi tekanan mental, merasa malu mengakui depresi, bahkan menghindari terapi karena takut dicap lemah. Dampaknya adalah meningkatnya angka bunuh diri pada pria dewasa, yang sering terjadi diam-diam tanpa tanda-tanda sebelumnya.
Korban yang Tidak Dipercaya: Pelecehan Seksual pada Pria
Meskipun tema ini terasa tabu, pelecehan seksual terhadap pria benar-benar terjadi. Namun ketika seorang pria mengaku menjadi korban, reaksi publik sering kali menyakitkan. Alih-alih mendapat dukungan, banyak yang mencemooh dan menuduh pria tersebut berbohong atau mengada-ada.
Situasi ini bukan hanya menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang pelecehan, tapi juga rendahnya empati terhadap korban pria. Hal ini membuat korban semakin merasa terisolasi, malu, dan enggan melapor. Padahal, trauma seksual dapat menghancurkan identitas dan kesehatan mental siapa saja, tanpa memandang gender.
Dampak Jangka Panjang: Luka yang Tak Tersembuhkan
Ketika luka batin tidak diberi ruang untuk sembuh, ia akan berkembang menjadi masalah serius. Pria yang tak pernah diberi kesempatan mengungkapkan perasaannya cenderung melampiaskan tekanan dengan cara yang merusak diri sendiri. Mulai dari penyalahgunaan alkohol, perilaku agresif pada pasangan, hingga menarik diri dari kehidupan sosial.
Lebih jauh lagi, beban mental yang terus dipendam dapat memicu gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, hingga skizofrenia. Sayangnya, karena stigma kuat, kondisi ini seringkali tidak didiagnosis sampai sudah dalam tahap parah.
Peran Lingkungan: Mari Ubah Narasi
Perubahan harus dimulai dari lingkungan terdekat. Keluarga, teman, dan tempat kerja harus menjadi ruang aman bagi pria untuk mengekspresikan perasaan tanpa takut dihakimi.
Orangtua perlu merubah pola asuh, mengajarkan pada anak laki-laki bahwa menangis bukanlah kelemahan, tapi keberanian mengakui emosi. Di media sosial, kita harus berhenti mempermalukan pria yang berani bersuara. Empati harus diberikan tanpa syarat dan tanpa diskriminasi.
Menormalisasi Terapi untuk Semua Gender
Terapi dan konseling bukan hanya untuk wanita. Pria juga berhak mendapat bantuan profesional. Sama seperti saat seseorang mengalami luka fisik, ia pergi ke dokter, ketika kesehatan mental terganggu, tidak ada salahnya mencari psikolog.
Dengan makin banyak pria yang berani menjalani terapi, akan tercipta narasi baru bahwa kesehatan mental bukanlah soal gender, melainkan soal keberanian menjaga diri sendiri. Banyak figur publik pria, mulai dari atlet hingga aktor, kini mulai terbuka membahas kesehatan mental mereka. Ini adalah langkah positif yang harus kita dukung.
Kesimpulan
Kesehatan mental pria adalah isu serius yang selama ini tersembunyi di balik budaya patriarki. Kita harus menyadari bahwa di balik sosok pria yang tampak kuat, bisa jadi tersembunyi luka dalam. Sudah waktunya masyarakat berhenti menuntut pria untuk selalu kuat, dan mulai menyediakan ruang agar mereka bisa menjadi manusia seutuhnya yang boleh menangis, mengaku lelah, dan meminta bantuan.
Mengakui kesehatan mental bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk tanggung jawab pada diri sendiri. Buat para pria di luar sana, ketahuilah bahwa perasaanmu valid. Suaramu penting. Kamu tidak sendirian.
Respon (2)
Artikel yang berguna, kakak.
Hebat