"Hah—benar-benar!" Itulah kata pertama yang kuucapkan saat aku sadar bahwa asrama tempat ku tinggal semasa kanak-kanak, yang dulu dikenal sebagai "Tangsi", ternyata menyimpan sejarah yang tak ternilai. Berdiri sejak sekitar tahun 1914 dengan gaya arsitektur Belanda, bangunan ini berlokasi di Jalan Melati, tepat di belakang Sekolah Pendidikan Guru. Di sebelah kanan Jalan Melati terdapat Gedung Pengadilan yang juga merupakan bangunan peninggalan Belanda. Konon, Tangsi dulunya adalah tempat tahanan bagi tentara Belanda serta para pemberontak pemerintah. Meski aku hanya tinggal di sana sejak TK hingga SD, kenangan horor dan misteri yang aku alami di Tangsi dan sumur tua dekat lapangan SPG Boyolali masih membekas hingga sekarang. Aku tak menyangka pernah tinggal di tempat yang menyimpan banyak sejarah tersebut.
YUK IKUTI KISAH NYATAKU INI!!!
Awalnya aku tak menyangka pengalaman hidupku di asrama militer di Boyolali ini akan jadi cerita yang tak terlupakan. Melihat hantu dan mengalami sakit kaki tiga bulan yang membuatku tak bisa berjalan, yang katanya seorang dukun adalah akibat kerasukan arwah tentara Belanda.
Aku dilahirkan dari keluarga militer, ayahku bertugas di Srondol, Jawa Tengah. Aku anak keempat dari enam bersaudara, lahir tahun 1970, saat itu zaman masih jauh dari modern. Tentara memang harus siap dipindah tugaskan kapan saja. Saat usia lima tahun, keluargaku pindah ke Kodim Boyolali dan aku sekolah TK PERSIT di dekat tangsi.
Kami tinggal di barak militer yang ditempati tiga keluarga. Bangunannya bergaya Belanda yang syahdu. Di samping kamar orang tuaku terdapat sumur yang menjadi pusat aktivitas bersama. Kamar-ku serta saudaraku berdampingan dengan kamar orang tua kami. Di jendela atas dekat plafon tertulis tahun pembuatan 1914, cukup tua.
Di bagian belakang asrama ada kamar dengan jeruji besi, yang aku masa kecil belum paham fungsinya, sekarang kurasa itu seperti rumah tahanan. Saat pertama tinggal, sekitar seminggu, aku dan saudari tidur bersama di tempat tidur besi besar. Dengan keluarga kami yang terdiri dari tiga perempuan dan dua laki-laki, kebanyakan anak tentara masa itu memang banyak karena belum ada program KB.
Ayahku sering piket seminggu sekali di Kodim. Suatu malam, terdengar suara ketukan tongkat berjalan berpindah-pindah di bawah ranjang kamarku. Aku, kakak, dan adik laki-laki ketakutan lalu pindah ke kamar ibu. Namun suara ketukan itu mengikuti kami dan makin membuat takut. Ibu panik, kami hanya bisa terdiam. Setelah sekitar satu jam suara itu berhenti, kami tetap ketakutan menunggu ayah pulang.
Keesokan malam, ayahku tak piket dan menemani tidurku. Sekitar pukul 1 dini hari, aku terbangun mendengar suara ayah seperti mengusir gangguan dan berkata, "Aku di sini tugas, jangan ganggu anak-anakku! Kami tidak mengganggu kalian." Suara ketukan pun hilang setelah itu. Ayah kemudian menanyakan pada tetangga dan ternyata hanya keluarga kami yang mengalami gangguan itu walau sebentar.
Ternyata ayah mendatangi orang pintar dan mendapatkan kabar bahwa suara tongkat itu berasal dari arwah tentara Belanda buta yang dulu meninggal di tangsi dan biasa berjalan dengan tongkat. Setelah memenuhi permintaan sang arwah, suara gangguan itu berhenti.
Namun, setelah itu muncul suara misterius jatuh ke sumur disertai bunyi ember meluncur ke dasar sekitar pukul 2 dini hari. Sumur itu dekat kamar orang tuaku, airnya jernih dan bersih. Kejadian ini membuat enam keluarga penghuni Tangsi bertanya-tanya siapa yang menimba air malam-malam.
Di masa kecil, aku sering bermain di lapangan SPG, mencari buah, berenang di Kridanggo, dan beraktivitas bersama teman-temanku dari asrama. Pada suatu hari aku bersama kakak perempuan dan dua teman asrama bermain rumah-rumahan memanfaatkan kain jarik di dekat sumur. Tiba-tiba kami melihat sosok hantu tinggi, dengan wajah rusak, rambut pirang merah, merokok dan duduk di pinggir sumur. Kami terkejut dan tak berani teriak, lalu berlari mencari ibu yang sedang berlatih voli di lapangan SPG. Aku masih ingat betapa menyeramkan sosok itu hingga membuat bulu kuduk berdiri.
Empat bulan setelah kejadian itu, aku tiba-tiba sakit kaki dan tidak bisa berjalan selama tiga bulan. Ibuku sedih dan membawaku berobat ke dokter sekaligus ke orang pintar. Perjuangan itu berat, terutama saat ibu menggendongku melewati jembatan bambu yang belum jadi menuju rumah orang pintar. Berbagai pengobatan medis dan tradisional kami coba, termasuk ritual mandi dengan ramuan bunga dan kemenyan. Biaya pengobatan cukup besar, tapi akhirnya aku sembuh dan bisa bersekolah kembali.
Menurut orang pintar, aku kesambet arwah tentara Belanda, sebab aku bermain di atas bekas kuburan. Pengalaman itu mengajarkan aku untuk berhati-hati melewati tempat-tempat sakral dan bersejarah, serta menghormati sejarah dan dunia supranatural.
Di Tangsi, konon terdapat tempat penyiksaan pemberontak yang kejam dan sumur yang digunakan untuk membuang mayat tahanan. Di salah satu ruangan dekat kamar mandi, aku melihat kawat berduri melingkar di plafon, seperti alat untuk menggantung orang, yang membuatku merinding.
Kini aku bersyukur pernah tinggal di Tangsi, tempat bersejarah penuh kisah dan misteri. Aku menulis kisah ini sebagai kenang-kenangan anak cucuku kelak. Ayah dan ibuku telah tiada setelah bertugas di Kodim Boyolali dan pindah ke transmigrasi Bangko, Jambi, tempat aku dibesarkan bersama suku Anak Dalam yang siap kutulis dalam novel mendatang.
Terima kasih sudah membaca cerita nyata ini. Walau belum sempurna dalam penyampaian, aku berharap pembaca mendapat pelajaran dan hormat pada sejarah serta kekuatan tak kasat mata yang menyertai kita.
"Hah—benar-benar!" Itulah kata pertama yang kuucapkan saat aku sadar bahwa asrama tempat ku tinggal semasa kanak-kanak, yang dulu dikenal sebagai "Tangsi", ternyata menyimpan sejarah yang tak ternilai. Berdiri sejak sekitar tahun 1914 dengan gaya arsitektur Belanda, bangunan ini berlokasi di Jalan Melati, tepat di belakang Sekolah Pendidikan Guru. Di sebelah kanan Jalan Melati terdapat Gedung Pengadilan yang juga merupakan bangunan peninggalan Belanda. Konon, Tangsi dulunya adalah tempat tahanan bagi tentara Belanda serta para pemberontak pemerintah. Meski aku hanya tinggal di sana sejak TK hingga SD, kenangan horor dan misteri yang aku alami di Tangsi dan sumur tua dekat lapangan SPG Boyolali masih membekas hingga sekarang. Aku tak menyangka pernah tinggal di tempat yang menyimpan banyak sejarah tersebut.
YUK IKUTI KISAH NYATAKU INI!!!
Awalnya aku tak menyangka pengalaman hidupku di asrama militer di Boyolali ini akan jadi cerita yang tak terlupakan. Melihat hantu dan mengalami sakit kaki tiga bulan yang membuatku tak bisa berjalan, yang katanya seorang dukun adalah akibat kerasukan arwah tentara Belanda.
Aku dilahirkan dari keluarga militer, ayahku bertugas di Srondol, Jawa Tengah. Aku anak keempat dari enam bersaudara, lahir tahun 1970, saat itu zaman masih jauh dari modern. Tentara memang harus siap dipindah tugaskan kapan saja. Saat usia lima tahun, keluargaku pindah ke Kodim Boyolali dan aku sekolah TK PERSIT di dekat tangsi.
Kami tinggal di barak militer yang ditempati tiga keluarga. Bangunannya bergaya Belanda yang syahdu. Di samping kamar orang tuaku terdapat sumur yang menjadi pusat aktivitas bersama. Kamar-ku serta saudaraku berdampingan dengan kamar orang tua kami. Di jendela atas dekat plafon tertulis tahun pembuatan 1914, cukup tua.
Di bagian belakang asrama ada kamar dengan jeruji besi, yang aku masa kecil belum paham fungsinya, sekarang kurasa itu seperti rumah tahanan. Saat pertama tinggal, sekitar seminggu, aku dan saudari tidur bersama di tempat tidur besi besar. Dengan keluarga kami yang terdiri dari tiga perempuan dan dua laki-laki, kebanyakan anak tentara masa itu memang banyak karena belum ada program KB.
Ayahku sering piket seminggu sekali di Kodim. Suatu malam, terdengar suara ketukan tongkat berjalan berpindah-pindah di bawah ranjang kamarku. Aku, kakak, dan adik laki-laki ketakutan lalu pindah ke kamar ibu. Namun suara ketukan itu mengikuti kami dan makin membuat takut. Ibu panik, kami hanya bisa terdiam. Setelah sekitar satu jam suara itu berhenti, kami tetap ketakutan menunggu ayah pulang.
Keesokan malam, ayahku tak piket dan menemani tidurku. Sekitar pukul 1 dini hari, aku terbangun mendengar suara ayah seperti mengusir gangguan dan berkata, "Aku di sini tugas, jangan ganggu anak-anakku! Kami tidak mengganggu kalian." Suara ketukan pun hilang setelah itu. Ayah kemudian menanyakan pada tetangga dan ternyata hanya keluarga kami yang mengalami gangguan itu walau sebentar.
Ternyata ayah mendatangi orang pintar dan mendapatkan kabar bahwa suara tongkat itu berasal dari arwah tentara Belanda buta yang dulu meninggal di tangsi dan biasa berjalan dengan tongkat. Setelah memenuhi permintaan sang arwah, suara gangguan itu berhenti.
Namun, setelah itu muncul suara misterius jatuh ke sumur disertai bunyi ember meluncur ke dasar sekitar pukul 2 dini hari. Sumur itu dekat kamar orang tuaku, airnya jernih dan bersih. Kejadian ini membuat enam keluarga penghuni Tangsi bertanya-tanya siapa yang menimba air malam-malam.
Di masa kecil, aku sering bermain di lapangan SPG, mencari buah, berenang di Kridanggo, dan beraktivitas bersama teman-temanku dari asrama. Pada suatu hari aku bersama kakak perempuan dan dua teman asrama bermain rumah-rumahan memanfaatkan kain jarik di dekat sumur. Tiba-tiba kami melihat sosok hantu tinggi, dengan wajah rusak, rambut pirang merah, merokok dan duduk di pinggir sumur. Kami terkejut dan tak berani teriak, lalu berlari mencari ibu yang sedang berlatih voli di lapangan SPG. Aku masih ingat betapa menyeramkan sosok itu hingga membuat bulu kuduk berdiri.
Empat bulan setelah kejadian itu, aku tiba-tiba sakit kaki dan tidak bisa berjalan selama tiga bulan. Ibuku sedih dan membawaku berobat ke dokter sekaligus ke orang pintar. Perjuangan itu berat, terutama saat ibu menggendongku melewati jembatan bambu yang belum jadi menuju rumah orang pintar. Berbagai pengobatan medis dan tradisional kami coba, termasuk ritual mandi dengan ramuan bunga dan kemenyan. Biaya pengobatan cukup besar, tapi akhirnya aku sembuh dan bisa bersekolah kembali.
Menurut orang pintar, aku kesambet arwah tentara Belanda, sebab aku bermain di atas bekas kuburan. Pengalaman itu mengajarkan aku untuk berhati-hati melewati tempat-tempat sakral dan bersejarah, serta menghormati sejarah dan dunia supranatural.
Di Tangsi, konon terdapat tempat penyiksaan pemberontak yang kejam dan sumur yang digunakan untuk membuang mayat tahanan. Di salah satu ruangan dekat kamar mandi, aku melihat kawat berduri melingkar di plafon, seperti alat untuk menggantung orang, yang membuatku merinding.
Kini aku bersyukur pernah tinggal di Tangsi, tempat bersejarah penuh kisah dan misteri. Aku menulis kisah ini sebagai kenang-kenangan anak cucuku kelak. Ayah dan ibuku telah tiada setelah bertugas di Kodim Boyolali dan pindah ke transmigrasi Bangko, Jambi, tempat aku dibesarkan bersama suku Anak Dalam yang siap kutulis dalam novel mendatang.
Terima kasih sudah membaca cerita nyata ini. Walau belum sempurna dalam penyampaian, aku berharap pembaca mendapat pelajaran dan hormat pada sejarah serta kekuatan tak kasat mata yang menyertai kita.
Kesimpulan
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur. Excepteur sint occaecat cupidatat non proident, sunt in culpa qui officia deserunt mollit anim id est laborum.
Penutup
Terima kasih telah membaca kisah nyata ini. Semoga cerita ini menjadi pengingat agar kita semua lebih menghormati sejarah serta menjaga sikap hormat pada warisan masa lalu, sekaligus memperkuat keyakinan bahwa ada kekuatan tak kasat mata yang senantiasa menyertai kita.
Respon